Rabu, 18 Maret 2015

Paradigma Halal-Haram

Diskusi yang menurut saya tidak pogres sama sekali di kelas. Diskusi ini menyangkut doktrin keislaman tentang maksiat, surga dan neraka, kafir, musrik. Saya tidak menganggap itu tidak baik, tapi akan lebih baiknya jika membahas permasalahan seperti itu dengan sedikit merasionalkan dengan bukti empiris. Mungkin alasan peradaban Islam mengalami degradasi salah satunya adalah umat Islam selalu menyibukkan diri dengan halal haram, mengkafir-kafirkan orang yang tidak sepemahaman, berkutat pada qoul ulama' klasik tanpa menganalisis terlebih dahulu sebab-akibatnya.

Perihal seperti ini yang harus jadi perhatian dan menjadi bahan renungan kita sebagai umat Islam. Terlalu membanggakan masa kemajuan Islam saat masa kerajaan Islam dulu sampai lupa sekarang kita hidup dizaman yang berbeda. Semakin tua umur dunia, juga semakin berkembangnya pemikiran setiap orang. Oleh karena itu, seharusnya umat muslim tidak hanya membahas permasalahan halal-haram. Tapi lebih membuktikan doktrin halal haram yang ada memang tidak baik bagi keseimbangan alam atau tidak baik bagi setiap orang.

Terkait halal-haram suatu makanan dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari. Akan terlihat kuno jika mengharam-haramkan makanan hanya mengunakan ayat, hadis, atau qoul ulama'. Bukan tidak baik dengan cara seperti itu, cobalah sedikit merasionalkan larangan-larangan yang terdapat dalam doktrin Islam. Misalnya; umat Islam dilarang makan babi karena di dalam alqur'an sudah diwahyukan Allah. Sebab daging babi mengandung cacing pita yang tidak baik bagi tubuh manusia. Perbuatan (mengkonsumsinya) ini sangatlah tidak diperkenankan, karena dalam raga yang sehat terdapat pula jiwa yang sehat. Titik tekan dalam permasalahan halal-haram, asumsi saya adalah esensi dan sebab-akibat tersebut yang kebanyakan umat muslim jarang memperhatikannya.

Perlunya mengunakan hukum kuasalitas dalam doktrin-doktrin Islam. Supaya, umat islam mengerti tujuan atau esensi doktrin dalam Islam tidak hanya mengharam-haramkan tanpa sebab dan akibatnya. Akan tetapi dibalik suatu larangan itu ada sebuah esensi dan akibat-akibat yang akan terjadi jika melanggar hukum dalam doktrin Islam tersebut. Di era modern seperti ini sangat penting merasionalkan hal-hal seperti ini. Tentunya  agar bisa menyelaraskan dengan sistem berfikir manusia yang mulai berkembang dan supaya doktrin Islam itu tetap relevan bila masih tetap dipakai di era kehidupan manusia sekarang. Karena islam tidak hanya mengatur tata cara beribadah kepada Tuhannya tapi mengatur pola kehidupan penganutnya juga.
Note: sumber pict dari mirajnews.com

Kamis, 12 Maret 2015

Tak Ada Manusia Yang Sempurna

"Tidak ada manusia yang sempurna" kata yang lumrah didengar oleh kita. Sebetulnya saya kurang sepakat dengan adanya statmen yang menyatakan manusia tidak sempurna. Karena, jikalau kita meyakini bahwa manusia adalah makhluk yang tidak sempurna, tentu Tuhan gagal dalam menciptakan makhluk hidup. Tuhan gagal saat mengkonsep ataupun setelah membuat rangkaian alam semesta. Karena Tuhan mempunyai pangkat "maha segala" yang telah disandarkan pada dzatNya. Tapi ketika manusia tercipta, ia tercipta dengan keadaan yang tidak sempurna.

Dimana kekuasaan Tuhan? Sampai makhluk yang ia ciptakan tidak sempurna. Mungkinkah manusia lebih kuasa ketika menciptakan sebuah kursi yang bisa diduduki oleh murid disekolah adalah kehebatan manusia yang melebihi kebehatan Tuhan? manusia menciptakan kursi saja bisa sempurna. Apalagi Tuhan sang maha sumber yang menciptakan alam semesta.

Bukan bermaksud membela Tuhan atau membuat pernyataan bahwa Tuhan gagal dalam membuat ciptaanya sempurna. Akan tetapi, saya tekankan dalam tulisan ini ialah manusia yang menganggap dirinya tidak sempurna. Jika manusia tidak sempurna, lalu siapa yang sempurna? Kerbau, kucing, babi ataukah padi yang dianggap selama ini sempurna melebihi manusia.

Plato menganggap dunia ini tidak nyata. Karena apa yang ada dalam dunia indra adalah bayangan dari wujud aslinya didunia ide. Aristoteles membantah plato tentang teori mitos gua tersebut. Karena segala yang ada di dunia ide adalah hasil dari sesuatu yang ada dalam dunia indra. Saya akan mengambil titik tengah dari dua pernyataan kedua tokoh filsuf untuk mehubungkan ke pernyataan "tidak ada manusia yang sempurna".

*Biar gak tengang, ngopi dulu

Sejak bayi dilahirkan dari rahim ibu, tidak semua lahir dengan kondisi fisiknya lengkap. Tentu saja keadaan ini bukan dari ketidak sempurnaan lahirnya manusia. Ketika seseorang memandang ada orang yang(sepurone) cacat. Maka ia akan menganggap bahwa apa yang dilihat adalah makhluk yang tidak sempurna. Karena dunia ide merekam dan mengkonsepkan kesempurnaan manusia adalah fisik yang lengkap tanpa satupun yang kurang. Tentang gagasan dunia ide plato, seseorang yang kondisi fisiknya tidak lengkap akan dikatakan tidak sempurna, mungkin plato akan membantah pernyataan itu. Karena orang tersebut adalah bayangan dari cetakan aslinya dalam dunia ide. (Karepmu lah to plato. Arep ngomong opo)

Menurut aristoteles, yang beranggapan bahwa subtansi ada dalam materi dan itu nyata bukan bayangan dari dunia ide seperti apa yang dikatakan plato. Oleh karenanya, kesempurnaan manusia adalah keberadaan manusia Atau manusia bisa hidup merupakan kesempurnaan atas manusia.

Menilai suatu kesempurnaan manusia seharusnya dari diri manusia. Karena yang menjadi tolak ukur kesempurnaan itu adalah dari subtansi atau cetakan diri manusia. Seperti yang dimaksudkan plato, keberadaan sesuatu yang ada didunia indra adalah duplikat dari wujud atau cetakan aslinya yang berada dalam dunia ide. Dari kedua gagasan kedua tokoh filosof tadi, jelas kalau kesempurnaan manusia terletak dalam diri manusia. Sebab keberadaan cetakan aslinya atau subtansi dasar yang membuat kesempurnaan wujud hingga manusia bisa hidup adalah ciptaan yang tidak bisa dibilang itu tidak sempurna.

Kerap kali manusia berfikir ketidak sempurnaan atas manusia dinilai dari perbandingan dengan penciptanya. Bagaimana mungkin sebuah kursi dikatakan tidak sempurna jika kesempurnaanya dibandingkan dengan si pembuat. Kalau kursi tersebut menurut gagasannya plato, akan dikatakan sempurna. Karena hasil penciptaan kursi tersebut berawal dari cetakan atau wujud aslinya di dunia ide. Pandangannya aristoteles mengenai kesempurnaan kursi adalah dari subtansi dasar yang dibuat oleh si pembuat hingga menghasilakan sebuah bentuk yang sempurna. Apakah kesempurnaan kursi dinilai dari hasil perbandingan antara si pembuat dan hasil dari pembuat? Tidak.

Tidak ada manusia yang TIDAK sempurna didunia ini dan selama ia berlangsung menjalani kehidupannya. Tuhan mengevolusi segala sesuatu tidaklah kesempurnaannya dibandingakan oleh si pembuat atau benda lain selain diri manusia. Bukan cacat fisik atau kekurangan pengetahuan yang membuat manusia dibilang tidak sempurna tapi ketika ia tidak dilahirkan dan tidak pernah ada yang semustinya dibilang tidak sempurna. Karena keberadaan selalu pantas dibilang ada dan sempurna. selama ketidak sempurnaan dikatakan ada adalah ketiadaan yang seharusnya bersandang pada ketidak sempurnaan atau bersimpang dari keinginan Tuhan dalam proses permainannya. Sebab kalau manusia tidak sempurna maka secara otomatis sang pencipta yang maha kuasa juga terlibat dalam ketidak sempurnaan. Bahkan boleh dikatakan tidak maha kuasa atas segala ciptaannya.