Kamis, 02 Juli 2015

Bowongso: Kopi dan Tembakau



Mengisi waktu liburan, saya bersama 4 orang teman, mengisinya dengan mlaku-mlaku bareng ke Wonosobo; sebuah kota yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Sekedar melihat update photo dan status di media sosial, yang kutahu bahwa kota itu berada di dataran tinggi: daerah yang terdapat beberapa gunung yang bisa didaki dan tempat pariwisatanya yang tak kalah indah dengan yang lain.

Dua hari kami berdiam di sana; menginap di rumah teman yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan pasar kertek. Tambah satu teman yang berdomisili disana, kami ber-6 mengunjungi desa Bowongso. Untuk mengunjunginya dibutuhkan waktu sekitar 20 menit mengunakan sepeda motor.

Jalur menuju desa tersebut harus melalui banyak tanjakan dan kondisi jalan yang belubang –mungkin lebar jalan seperti lebar mobil. Sebab keberadaan desa ini berada di atas bukit, jadi dari penginapan letaknya lumayan jauh. View-nya cukup bagus, diperjalan menuju temapat ini, nanti akan disuguhi alam desa yang indah: sebuah desa terdapat banyak sawah yang ditumbuhi sayur-sayuran, pohon yang berbuah kopi, hijaunya dau-daun teh yang luas, tembakau yang tumbuh berjejeran dan kabut-kabut tipis dan hawa dingin akan menyertai.

Tujuan kami tidak lain untuk berburu kopi khas Wonosobo dan tempat yang dapat dijadikan agenda mlaku-mlaku kami. Mendapat cerita dari teman yang sudah 6 bulan tinggal disana: petani desa ini, selain bercocoktanam sayur-sayuran, juga berkebun kopi jenis arabica dan teh. Sayangnya, kami tidak mendapatkan informasi tentang perkebunan teh yang ada disini. Melainkan hanya kopi dan tembakau.

Sampai di basecamp organisasi petani ‘Bina Sejahtera’ . Disini kami ditemui oleh salah satu pemuda desa. Ia memperkenalkan kepada kami tentang aktifitas keseharian warga yang kebanyakan bertani, penghasilan hingga kepada siapa saja dikirim. Ia pun menunjukkan hasil panennya: kopi yang sudah di roasting dan tembakau yang sudah diolah menjadi tembakau yang siap untuk dihisap. Bentuk tembakaunya kotak berwarna coklat kehitam-hitaman, jika dilihat sekilas dan dicium aromanya seperti kue coklat: brownis. Tidak disangka kalau yang saya pegang adalah tembakau bowongso yang sudah jadi.

Untuk membuat tembakau ini sehingga terasa nyaman ketika dihisap, perlu didiamkan bertahun tahun. ”tambah suwi iki tambah wuenak, mas, ming bako koyo ngene sitik abot”  : semakin lama tembakau ini semakin lama, mas, tapi agak keras, katanya.

Saya tidak mencobanya sebab sedang puasa. teman kami yang tidak puasa, mencoba tembakau lintingan  ini. benar saja, jika tidak ditambah cengkeh atau menyan rasanya agak berat dan keras di tenggorokan. Lalu kami melihat hasil kopinya;  jenis  kopi yang tumbuh didataran tinggi berjenis arabica ini, mempunyai rasa asam namun tidak begitu kuat.

Hasil kopi dan tembakau petani Bowongso penjualannya sudah mencapai mancanegara. Per 100 gram kopi ini dijual seharga 20 ribu, dan jenis kopi lanang atau piberry dijual dua kali-lipat dari jenis biasa. Dan Tembakau Bowongso dihargai kisaran 700 ribu keatas perlencer (kotak). Namun  pemerintah setempat kurang mengapresiasi produksi kopi dan tembakau petani ini. Oleh karena itu, dalam jangka 2 tahun, keuntungan dari hasil panen kopi dan tembakau hanya digunakan untuk promosikan produk saja.

Sudah lama kami berbincang-bincang ngalor-ngidul dengan pemuda desa Bowongso. Kemudian kami memutuskan pamit pulang karena hari sudah menjelang sore. Sudah waktu pindah mlaku-mlaku ke tempat yang lain. 

0 komentar:

Posting Komentar