Rabu, 12 Agustus 2015

Capung Yang Kian Menghilang


Sudah lama saya tidak melihat kupu-kupu dan capung bertengger diatas daun-daun yang hijau dan bunga-bunga yang tumbuh menghiasi jalanan. Apakah populasinya sekarang sudah menurun ataukah sudah punah? Saya tidak tahu harus menjawab apa. Namun, memikirkan hal itu di warung kopi, membuat saya teringat kembali masa lalu sewaktu masih bisa bermain sepanjang hari di sawah, hingga matahari di ufuk barat memacar cahaya kemerah-merahan: pertanda waktu bermain sudah habis. Jika tidak segera pulang, laksana jeweran dari tangan nenek, atau juga bibi menempel di telingaku. Kalau tidak seperti itu, biasanya hanya dimarahin.

Semakin dewasa, semakin pula masa kanak-kanak akan menjadi kenangan yang indah nan tak terlupakan. Seorang teman dari semarang pernah berkata: masa terindah adalah masa sekolah. Tetapi bagiku, masa yang paling indah adalah masa sewaktu kita masih kecil. Sebab masa sekolah adalah masa dimana peraturan yang membuatku merasa seperti robot. Mungkin yang membuat pikiran temanku terkesan dengan masa sekolah hanya soal pertemuan dengan kekasih; itu saja, mungkin.

Masih tergiang dalam ingatanku; siang berlalu, hari menyambut sore, saya bersama teman berlalu-lalang dengan sepeda bewarna orange yang dibelikan ayah karena rengek'anku tak kunjung usai, sebab melihat teman sebaya mempunyai sepeda juga. Membuatku iri. Sebelum pulang ke kalimatan, dengan baik hati, ayah membelikanku sepeda. Maklum, kata ayaku, kecil sudah jauh dengan orang tua sedikit banyak harus dituruti permintaannya. Bahkan pada saat saya minta untuk dibelikan mobil remot, ayah juga menurutinya. Tentu dengan timbal baik: selalu belajar hingga menjadi orang yang pintar. Tetapi, sampai saat ini saya belum juga pintar. Maaf ayah, saya belum bisa membuatmu bangga.

Di samping sawah dekat dengan lahan luas--yang sekarang sudah ditanah beton--saya memburu capung dengan kayu panjang yang ujungnya diberi getah pohon. Semak-semak yang timbuh dipinggir lahan tersebut, terdapat banyak capung. Dan binatang yang serangga berwarna kuning keemasan juga hadir mengindahankan kampung halaman saya. Sehingga, anak kecil seperti saya dapat bermain riang, sepanjang hari tanpa ada kesibukan yang membuat saya pusing.

Di lahan yang berdampingan dengan sawah, ada sungai dan kuburan. Disitulah kami, memburu capung. Berlari-lari, lalu berhenti lagi, terus menitih langkah kaki bak seorang ninja yang berjalan laju tanpa meninggalkan bunyi yang nyaring. kami bersigap pasang mata tajam ke segala sudut arah daun-daun. Jika target telah nampak, secepat kilat kayu panjang tadi menyambar tubuh capung tersebut.


Capung macan namanya; berkulit warna hijau loreng-loreng, dan bisa menggigit adalah target yang paling ganas, anggap kami saat itu. Masalahnya, capung yang lain, sangat gampang diperoleh. Tanpa harus mengunakan senjata, dengan tangan biasa pun mudah menangkapnya.

Setelah mendapatkannya, ekor capung saya ikat dengan benang jahit. Kemudian dilepaskan terbang ke udara, dan kami bersama mengejarnya. Namun, kalau lagi datang rasa belas kasihan, kami lepas langsung tanpa mengikatnya. Semua itu tidak lain bertujuan mengisi waktu bermain; semestinya begitu bagi anak kecil.

Itu masa kecil saya bersama teman-teman yang aneh dan unik. Sekarang, saya hidup diperkotaan merindukan masa seperti itu. Tetapi, saya sadar bahwa masa itu tidak akan terulang kembali. Hanya saja, saya perihatin dengan kondisi lingkungan yang hari demi hari mulai ditumbuhi gedung-gedung, yang membuat eksistensi hewan yang pernah menghibur masa kecilku cepat punah. Bahkan sudah beberapa tahun ini, saya tidak lagi melihatnya. Ah, kau menghilang kemana, duhai sahabat kecilku.

Di warung kopi, saya hanya dapat mengingatnya, tapi tidak dapat meilhat capung dan kawanan serangga yang lain.

Jogja, 12 Agustus 2015

0 komentar:

Posting Komentar