Saya merasa agak berat jika menjawab pertanyaan "siapa kamu?". Sebab, pertanyaan ini adalah pertanyaan filosofis. Mungkin bagi orang biasa, pertanyaan ini hal yang mudah dijawab. jawabnya kadang menyebutkan nama saja; identitas diri yang mudah dikenali orang lain.
Seorang teman mempertanyan itu, dengan cepat saya menjawab nama. Kemudian dia melemparkan tanya kembali, "saya tidak menanyakan siapa namamu, tapi yang saya tanyakan siapa kamu?". Saya berfikir sejenak tentang hal tersebut. Dan saya menyadari bahwa saya sangatlah tidak mengerti diri sendiri yang sebenarnya. Apakah saya adalah hamba tuhan? Tapi kalau saya tidak diperkenalkan agama sejak kecil, maka saya tidak akan mengatakan bahwa saya adalah hamba tuhan. Dan jika saya jawab dengan nama yang diberikan orang tua, tentunya itu sesuatu yang diberikan orang lain selain diriku untuk memudahkan orang lain mengenali saya.
Saya sungguh dibuat bingung menjawabnya. Mengenali diri sendiri saja tidak, apalagi mau mengenali siapa yang menciptakan, menghendaki saya untuk hidup, dan apa tujuan saya dihidupkan di dunia yang penuh duka. Saya pun tidak pernah minta untuk hidup di dunia ini. Kalau tahu hidup seperti ini, saya tidak akan meminta untuk dihidupkan, sungguh! Masalahnya, banyak yang harus diperjuangkan, diusahakan, dan lain-lain, yang membuat saya merasa jenuh dengan kehidupan. Apalagi, dogtrinitas agama, paham-paham yang dimunculkan oleh orang-orang tentang suatu konsep atau gagasan ideologi, membuat ada sesuatu yang mengikat dalam diri saya.
Disuruh ini-itu agar nanti bahagia, dikehidupan selanjutnya akan enak; masuk tempat yang diidolakan oleh manusia agamis, yakni surga, taman edan, nirvana, dll. Kebenaran itupun sempat saja saya pertanyakan, "apakah yang saya lakukan benar-benar perintah dari tuhan? Kok seperti budak saja saya harus melakukan sesuatu yang tidak awalnya tidak saya kehendaki. Aneh, bukan? Saya ada, tidak pernah minta, lalu kenapa saya disuruh ini-itu? Harusnya yang meng-ada-kan saya harus memenuhi apa yang saya suruh, karena saya tidak sama-sekali berkeinginan untuk diciptakan. Karenanya, yang menciptakan saya harus memenuhi kebutuhan hidup di dunia.
Perihal tentang "siapa saya" yang masih absurd dijelaskan. Kata-kata bijak orang-orang sufi; bahwa siapa yang mengenali dirinya maka akan mengenali siapa tuhannya. Dengan cara apa saya bisa mengenali diri saya? Dengan jawaban eksternal, atau yang internal diri? Nah, itulah yang harus dapat saya temukan dan oleh setiap orang. Karena dengan menganali diri, maka segalanya akan mudah dikenali. Dari apa yang dilakukan hingga hakikat dari apa yang dilakukan.
Untuk diri saya sendiri, ada sebuah pemikiran yang sedikit mencerahkan: kalau tuhan ada dan menciptakan segala yang ada, tidak mungkin ia menciptakan sesuatu dari selain dirinya. Karena jika menciptakan dari luar dirinya, dipastikan ke-maha-annya tidak bisa disandang, sebab ada hal lain yang juga ada selain dirinya. Ada hal yang juga ada bersamaan dengan keberadaannya. Dan manusia ada tidak mungkin diciptakan dari sesuatu selain tuhan. Jadi manusia adalah bagian dari diri tuhan sendiri.
Kalau seperti itu, apakah manusia adalah bagian dari dzat tuhan? Bisa jadi seperti itu. Alam dan seisinya tercipta dari bagian diri tuhan. Untuk itu, diperlukan sebuah pemahaman bahwa segala sesuatu adalah bagian dari kita; satu kesatuan yang pada awalnya adalah satu, yakni dzat tuhan. Yang kemudian tercipta menjadi beragam dan membentuk sesuatu yang dapat kita kenali sekarang: alam yang isinya beragam bentuk.
Jadi jelas bahwa kesadaran tentang 'satu kesatuan diri' menjadi sesuatu yang perlu saya rasakan, pahami, dan mengaplikansikannya dalam kehidupan.
Mungkin akan timbul pertanyaan kembali tentang itu, "apakah yang kita lakukan baik atau buruk adalah kehendak tuhan, atau pribadi?" Menurut saya, tentang pengendalian diri adalah pribadi, sebab apa yang saya lakukan adalah atas kehendak kita. Dalam ajaran buddha, pemilik seutuhnya diri adalah diri sendiri(pengendali sepenuhnya), tuhan sebagai pemilik kendali yang kedua. Karena kita ada, khususnya saya, melakukan apa yang saya lakukan dengan kemauan pribadi; namun tidak semaunya sendiri. Masih ada hal yang membuat diri saya memikirkan hal baik-buruk untuk dilakukan. Karena penilaian baik-buruk, menurut Dhurkeim pun, ditentukan oleh norma-norma yang ada ditengah masyarakat.
Oleh karena itu, alam semesta dulunya ada satu-kesatuan dalam diri tuhan, kemudian tercipta beragam makhluk darinya. Jadi untuk saat ini, saya dapat mengatakan bahwa saya adalah bagian dari alam, juga bagian dari tuhan. Manuggaling kawulo gusti, mungkin seperti itu kata orang jawa dalam memaknai hakikat diri.
Jika saya adalah bagian dari dzat tuhan, lalu siapa kamu?
Jogja, 25 Agustus 2015