Senin, 24 Agustus 2015

Siapa Saya?



Saya merasa agak berat jika menjawab pertanyaan "siapa kamu?". Sebab, pertanyaan ini adalah pertanyaan filosofis. Mungkin bagi orang biasa, pertanyaan ini hal yang mudah dijawab. jawabnya kadang menyebutkan nama saja; identitas diri yang mudah dikenali orang lain.

Seorang teman mempertanyan itu,  dengan cepat saya menjawab nama. Kemudian dia melemparkan tanya kembali, "saya tidak menanyakan siapa namamu, tapi yang saya tanyakan siapa kamu?". Saya berfikir sejenak tentang hal tersebut. Dan saya menyadari bahwa saya sangatlah tidak mengerti diri sendiri yang sebenarnya. Apakah saya adalah hamba tuhan? Tapi kalau saya tidak diperkenalkan agama sejak kecil, maka saya tidak akan mengatakan bahwa saya adalah hamba tuhan. Dan jika saya jawab dengan nama yang diberikan orang tua, tentunya itu sesuatu yang diberikan orang lain selain diriku untuk memudahkan orang lain mengenali saya.

Saya sungguh dibuat bingung menjawabnya. Mengenali diri sendiri saja tidak, apalagi mau mengenali siapa yang menciptakan, menghendaki saya untuk hidup, dan apa tujuan saya dihidupkan di dunia yang penuh duka. Saya pun tidak pernah minta untuk hidup di dunia ini. Kalau tahu hidup seperti ini, saya tidak akan meminta untuk dihidupkan, sungguh! Masalahnya, banyak yang harus diperjuangkan, diusahakan, dan lain-lain, yang membuat saya merasa jenuh dengan kehidupan. Apalagi, dogtrinitas agama, paham-paham yang dimunculkan oleh orang-orang tentang suatu konsep atau gagasan ideologi, membuat ada  sesuatu yang mengikat dalam diri saya. 

Disuruh ini-itu agar nanti bahagia, dikehidupan selanjutnya akan enak; masuk tempat yang diidolakan oleh manusia agamis, yakni surga, taman edan, nirvana, dll. Kebenaran itupun sempat saja saya pertanyakan, "apakah yang saya lakukan benar-benar perintah dari tuhan? Kok seperti budak saja saya harus melakukan sesuatu yang tidak awalnya tidak saya kehendaki. Aneh, bukan? Saya ada, tidak pernah minta, lalu kenapa saya disuruh ini-itu? Harusnya yang meng-ada-kan saya harus memenuhi apa yang saya suruh, karena saya tidak sama-sekali berkeinginan untuk diciptakan. Karenanya, yang menciptakan saya harus memenuhi kebutuhan hidup di dunia.

Perihal tentang "siapa saya" yang masih absurd dijelaskan. Kata-kata bijak orang-orang sufi; bahwa siapa yang mengenali dirinya maka akan mengenali siapa tuhannya. Dengan cara apa saya bisa mengenali diri saya? Dengan jawaban eksternal, atau yang internal diri? Nah, itulah yang harus dapat saya temukan dan oleh setiap orang. Karena dengan menganali diri, maka segalanya akan mudah dikenali. Dari apa yang dilakukan hingga hakikat dari apa yang dilakukan.

Untuk diri saya sendiri, ada sebuah pemikiran yang sedikit mencerahkan: kalau tuhan ada dan menciptakan segala yang ada, tidak mungkin ia menciptakan sesuatu dari selain dirinya. Karena jika menciptakan dari luar dirinya, dipastikan ke-maha-annya tidak bisa disandang, sebab ada hal lain yang juga ada selain dirinya. Ada hal yang juga ada bersamaan dengan keberadaannya. Dan manusia ada tidak mungkin diciptakan dari sesuatu selain tuhan. Jadi manusia adalah bagian dari diri tuhan sendiri.

Kalau seperti itu, apakah manusia adalah bagian dari dzat tuhan? Bisa jadi seperti itu. Alam dan seisinya tercipta dari bagian diri tuhan. Untuk itu, diperlukan sebuah pemahaman bahwa segala sesuatu adalah bagian dari kita; satu kesatuan yang pada awalnya adalah satu, yakni dzat tuhan. Yang kemudian tercipta menjadi beragam dan membentuk sesuatu yang dapat kita kenali sekarang: alam yang isinya beragam bentuk. 

Jadi jelas bahwa kesadaran tentang 'satu kesatuan diri' menjadi sesuatu yang perlu saya rasakan, pahami, dan mengaplikansikannya dalam kehidupan. 

Mungkin akan timbul pertanyaan kembali tentang itu, "apakah yang kita lakukan baik atau buruk adalah kehendak tuhan, atau pribadi?" Menurut saya, tentang pengendalian diri adalah pribadi, sebab apa yang saya lakukan adalah atas kehendak kita. Dalam ajaran buddha, pemilik seutuhnya diri adalah diri sendiri(pengendali sepenuhnya), tuhan sebagai pemilik kendali yang kedua. Karena kita ada, khususnya saya, melakukan apa yang saya lakukan dengan kemauan pribadi; namun tidak semaunya sendiri. Masih ada hal yang membuat diri saya memikirkan hal baik-buruk untuk dilakukan. Karena penilaian baik-buruk, menurut Dhurkeim pun, ditentukan oleh norma-norma yang ada ditengah masyarakat. 

Oleh karena itu, alam semesta dulunya ada satu-kesatuan dalam diri tuhan, kemudian tercipta beragam makhluk darinya. Jadi untuk saat ini, saya dapat mengatakan bahwa saya adalah bagian dari alam, juga bagian dari tuhan. Manuggaling kawulo gusti, mungkin seperti itu kata orang jawa dalam memaknai hakikat diri.

Jika saya adalah bagian dari dzat tuhan, lalu siapa kamu?


Jogja, 25 Agustus 2015


Bumi

Daun mulai berguguran ke tanah yang gersang,
Dan angin yang berhembus memercikkan api.
Lalu membara diatas puing kayu yang malang nasipnya.
Ratapan sepi angin memuja tanah yang dibanjiri bara merah,
Kemudian kayu yang terbakar hanya menyisakan tangis bumi.

Dimana kalian yang pernah mencintai dengan hati?
Rasa peduli yang tertempel di baju-baju berlabel mahal,
Apakah hanya kata saja, dan pemuas nafsu belaka?

Kalian adalah bagian darinya,
Yang tak pernah berhenti mengais sesuatu yang tumbuh dari perutnya.
Bumi, tak pernah berhenti menjadi kambing,
Seketika waktu berjalan tubuhnya terus diombang-ambing.
Karena kebosanannya, dia menunggu api membanjirinya,
Mengharap air segera meraup wajahnya.
Hingga pada suatu masa matahari kembali meratapi tangisnya.
Dan bumi berkata: aku tlah memberimu segalanya. Namun kenapa aku selalu dibuatmu sangat dekat dengan kematianku?

Jogja, 25 agustus 2015


Rabu, 12 Agustus 2015

Capung Yang Kian Menghilang


Sudah lama saya tidak melihat kupu-kupu dan capung bertengger diatas daun-daun yang hijau dan bunga-bunga yang tumbuh menghiasi jalanan. Apakah populasinya sekarang sudah menurun ataukah sudah punah? Saya tidak tahu harus menjawab apa. Namun, memikirkan hal itu di warung kopi, membuat saya teringat kembali masa lalu sewaktu masih bisa bermain sepanjang hari di sawah, hingga matahari di ufuk barat memacar cahaya kemerah-merahan: pertanda waktu bermain sudah habis. Jika tidak segera pulang, laksana jeweran dari tangan nenek, atau juga bibi menempel di telingaku. Kalau tidak seperti itu, biasanya hanya dimarahin.

Semakin dewasa, semakin pula masa kanak-kanak akan menjadi kenangan yang indah nan tak terlupakan. Seorang teman dari semarang pernah berkata: masa terindah adalah masa sekolah. Tetapi bagiku, masa yang paling indah adalah masa sewaktu kita masih kecil. Sebab masa sekolah adalah masa dimana peraturan yang membuatku merasa seperti robot. Mungkin yang membuat pikiran temanku terkesan dengan masa sekolah hanya soal pertemuan dengan kekasih; itu saja, mungkin.

Masih tergiang dalam ingatanku; siang berlalu, hari menyambut sore, saya bersama teman berlalu-lalang dengan sepeda bewarna orange yang dibelikan ayah karena rengek'anku tak kunjung usai, sebab melihat teman sebaya mempunyai sepeda juga. Membuatku iri. Sebelum pulang ke kalimatan, dengan baik hati, ayah membelikanku sepeda. Maklum, kata ayaku, kecil sudah jauh dengan orang tua sedikit banyak harus dituruti permintaannya. Bahkan pada saat saya minta untuk dibelikan mobil remot, ayah juga menurutinya. Tentu dengan timbal baik: selalu belajar hingga menjadi orang yang pintar. Tetapi, sampai saat ini saya belum juga pintar. Maaf ayah, saya belum bisa membuatmu bangga.

Di samping sawah dekat dengan lahan luas--yang sekarang sudah ditanah beton--saya memburu capung dengan kayu panjang yang ujungnya diberi getah pohon. Semak-semak yang timbuh dipinggir lahan tersebut, terdapat banyak capung. Dan binatang yang serangga berwarna kuning keemasan juga hadir mengindahankan kampung halaman saya. Sehingga, anak kecil seperti saya dapat bermain riang, sepanjang hari tanpa ada kesibukan yang membuat saya pusing.

Di lahan yang berdampingan dengan sawah, ada sungai dan kuburan. Disitulah kami, memburu capung. Berlari-lari, lalu berhenti lagi, terus menitih langkah kaki bak seorang ninja yang berjalan laju tanpa meninggalkan bunyi yang nyaring. kami bersigap pasang mata tajam ke segala sudut arah daun-daun. Jika target telah nampak, secepat kilat kayu panjang tadi menyambar tubuh capung tersebut.


Capung macan namanya; berkulit warna hijau loreng-loreng, dan bisa menggigit adalah target yang paling ganas, anggap kami saat itu. Masalahnya, capung yang lain, sangat gampang diperoleh. Tanpa harus mengunakan senjata, dengan tangan biasa pun mudah menangkapnya.

Setelah mendapatkannya, ekor capung saya ikat dengan benang jahit. Kemudian dilepaskan terbang ke udara, dan kami bersama mengejarnya. Namun, kalau lagi datang rasa belas kasihan, kami lepas langsung tanpa mengikatnya. Semua itu tidak lain bertujuan mengisi waktu bermain; semestinya begitu bagi anak kecil.

Itu masa kecil saya bersama teman-teman yang aneh dan unik. Sekarang, saya hidup diperkotaan merindukan masa seperti itu. Tetapi, saya sadar bahwa masa itu tidak akan terulang kembali. Hanya saja, saya perihatin dengan kondisi lingkungan yang hari demi hari mulai ditumbuhi gedung-gedung, yang membuat eksistensi hewan yang pernah menghibur masa kecilku cepat punah. Bahkan sudah beberapa tahun ini, saya tidak lagi melihatnya. Ah, kau menghilang kemana, duhai sahabat kecilku.

Di warung kopi, saya hanya dapat mengingatnya, tapi tidak dapat meilhat capung dan kawanan serangga yang lain.

Jogja, 12 Agustus 2015

Rabu, 22 Juli 2015

Heraclitus Dan Kesetiaan Hubungan Pada Pasangan


Sebagai pengikat hubungan individu terhadap pasangannya, diperlukan suatu komitmen. Perjanjian yang menjunjung perasaan cinta dan setia. Dalam perjanjian itu, dua insan yang saling mencintai, mengikrarkan janji untuk saling mencintai—apa adanya sampai kapan pun. Inilah bentuk kesetiaan terhadap pasangan. Dengan saling menyatukan rasa cinta, segala sesuatu yang tidak disukai oleh pasangannya, tidak akan dilakukan agar hubungan itu tetap terjaga.

Hal-hal cinta yang dijaga hingga melahirkan bentuk kesetiaan, tampaknya juga akan mengalami kemunduran hingga sampai pada saat ikrar yang sedari awal diucapkan dengan mulut dan mengaktualkan dengan perbuatan, akan berubah seiring timbul rasa yang tidak disukai dari pasangan. Kepribadian lain dari pasangan, yang tidak disuka, dapat menjadi salah satu faktor perubahan cinta, yakni rasa benci yang akan memberitahu seperti apa rasa cinta. Sebab, dalam Falsafah Zen, dualisme dalam hidup tidak berdiri sendiri, melaikan satu kesatuan; didalam cinta ada benci; didalam baik ada buruk.

Heraclitus, seorang filosof klasik dari Ephesus, meyakini alam semesta mempunyai sifat dinamis. Berposes dari sekarang sampai pada suatu perubahan yang lebih berkembang—akan tetapi juga dapat lebih buruk dari sebelum perubahan itu—karena ada suatu penyebab yang menjadi penggerak perubahan; konflik. Yang kemudian ide ini digunakan Hegel dalam mebuat gagasan filsafat dialektikanya: dari thesis, anti-thesies lalu menimbulkan suatu sintesis baru, dan seterusnya akan seperti itu. Dalam hal etika, Heraclitus mengatakan: konfliklahah menjadi sebab mulanya yang banyak terdominasi oleh ilusi, dan akan melahirkan suatu perubahan dialektis.

Jika mengunakan pemikiran Heraclitus untuk menganalisis suatu hubungan cinta yang biasa disebut ‘pacaran’, tentu kesetiaan terhadap pasangan tidak akan selamanya terjalin. Rasa setia akan hilang pada suatu masa, atau sebab keadaan yang tidak nyaman oleh faktor-faktor tertentu. Sedikit demi sedikit, ada sebuah sintesa yang akan menyimpulkan perubahan rasa itu. Bisa jadi, komitmen untuk saling mencintai berubah menjadi benci, yang berakhir pada pengingkaran ikrar cinta.

Rasa cinta dimiliki oleh manusia dan semua makhluk penghuni alam semesta lain. oleh karenanya, menurut Heraclitus, segala yang termasuk dalam bagiannya akan mengalami perubahan, tidak terkecuali. Seperti air yang mengalir: Jika masuk ke sungai yang dialiri air, belum tentu besok sama. Walaupun tempatnya sama, akan tetapi air dan kondisi sekitarnya tidak sama seperti sebelumnya. Hubungan yang dilakukan manusia pun sama: Jika porsi cinta dan rasa kesetiaan besar, belum tentu ketika ada suatu faktor yang tidak disuka, tidak mengurangi rasa itu. Bahkan, mungkin dapat menghilangkannya.

Namun, dalam hidup manusia ada sesuatu yang diperjuangkan, yaitu kebaikan dan keburukan bagi dirinya. Kebaikan bagi dirinya ini menjadi sebuah ikatan hubungan. Itu adalah sebuah perjuangannya memenuhi kemauan hasratya mendapatkan kenyamanan, kabaikan, atau kebahagiaan. Oleh sebab itu, komitmen cinta akan dibuat bersama pasangannya. Sedangkan keburukan, kalau dalam hubungan itu membuatnya tidak merasa nyaman, dan tidak membuatnya menjadi baik dari sebelumnya, maka tentu akan dihindari, atau memutuskan sikap ketidaksetiaan. Dua sifat alamiah tersebut, semua orang memiliknya. Menghidari atau menahan keburukan, memperjuangkan apa yang membuatnya dapat bahagia, dan pasti terdapat konflik didalamnya.

Dua faktor itu menjadi dasar mengapa manusia harus menjaga dan memutuskan hubungan dengan pasangannya hingga menimbulkan suatu perubahan. Perubahan yang dikatakan Heraclitus, tidak lain adalah kodrat alamiah. Maka segala perubahan itu lebih baik atau pun tidak, akan berdampak pada rasa cinta dan kesetiaan terhadap pasangannya. Inkonsisten dalam berkomitmen harus dipahami, bukan untuk disesalkan atau dihindari, sebab, perubahan adalah sebuah kepastiaan dan kepastiaan dalam hubungan tidak akan selamanya tetap; berubah-rubah seterusnya sekalipun mati yang menghentikan kesetiaannya.


Minggu, 12 Juli 2015

Pencari Cahaya

Di bawah bumi jika ada cahaya tetap akan kucari
Di ujung segala arah yang luas akan aku lewati
Di puncak langit yang sangat tinggi akan aku daki
Adalah demi cahaya yang selama ini menyendiri

Namun tak jua kutemui..

Taruh lah aku sebagai penghianat yang dikatakan manusia bejat
Lalu anjing-anjing menyakar dalil yang melingkar pada bola matamu
Dan akalmu yang menghalalkan darah, telah bertumpah ruah
Di bumi ini tak ada kertas yang mampu menjadi takdir yang abadi
Yang telah menistakanku pun adalah benteng-benteng berlantun dzat berbudi

Kau, kau yang bijaksana penentu keadilan
Pengesah segala kutukan bagi orang yang kebingungan
Kemarilah! Dan tunjukkan padaku siapa yang berhak mengadiliku
Temuilah tuhan dalam dirimu, dan tampakkan wujudnya padaku
Aku menunggu keadilan dalam dzat tuhan yang ada dalam dirimu
Aku menunggu anjing-anjing jalang menjadi penistaan syahdumu di akhri waktu

Aku adalah pencari cahaya di dalam ruangan hampa
Jika kau adalah cahaya, kau berhak membunuhku saat ini juga.

Jogja, 13 Juli 2015

Kamis, 02 Juli 2015

Catatan Dalam Buku Yang Usang


                                                            

Kali Biru, desa yang sunyi dan tentram. Masyarakatnya hidup rukun. Jarang sekali ada pertikaian antar tentanga ataupun desa. Jika ada, hanya sesekali saja, dan itu dapat diatasi secara kekeluargaan. Tidak perlu ada konflik kekerasan yang membuat mereka harus bermusuhan hingga turun-temurun. Sudah semestinya masyarakat desa seperti itu. mengusung nilai-nilai Pancasila, dan menjaga utuhnya budaya gotong royong.
Desa yang terletak dibawah kaki gunung ini, mempunyai banyak lahan-lahan sawah. Mata pencarian utama masyarakatnya adalah bertani, menanam segalanya yang dapat menunjang hidup. Aliran sungai yang membatasi antara sawah dan rumah-rumah warga, selain membantu untuk kebutuhan sehari-hari warganya, juga membantu menyuburkan tanaman.
Pohon rambutan tumbuh berjejeran di pinggir jalan hingga ujung desa. Dari mulai rumah kepala desa sampai ujung jalan raya yang sering dilalui kendaraan transportasi kota. Begitu indah desa ini. namun tidak semua orang tahu bahwa di desa ini menyimpan cerita pahit. Cerita yang tidak semua warga mengetahuinya. Hanya saja, masyarakat desa yang berusia sekitar 80 tahun keatas yang tahu.
Di usiaku yang masih terhitung remaja, 18 tahun, seketika itu pernah aku dapatkan sebuah buku yang usang di almari yang ada di gudang. Judul buku tertulis “Tjatatan Perjoeangan”. Tanpa sepengetahuan Ayah, aku membawa buku itu. kini, usiaku menginjak 25 tahun. Sudah saatnya aku harus pulang ke desa. Terlalu lama menuntut ilmu di kota sampai lupa bahwa aku terlahir di desa Kali Biru, dan pasti masyarakat membutuhkan tenaga dan pengetahuanku.
Buku tua yang aku temukan di gudang, sekarang berada di tanganku, namun tidak sempat ku baca karena sibuk dengan dunia perkuliahan.
***
Semilir angin dari luar masuk ke kamar melalui pentilasi. Musim hujan telah berganti. Akan tetapi, musim panas belum terlalu mecekik. Di depan kos, terdapat dua pohon rambutan besar. Jadi, mungkin saja pohon itu membantu udara siang ini tidak panas.Mengingatkanku akan desa. Ya, desa Kali biru. sehabis sidang skripsi, aku sudah agendakan waktuku untuk pulang. Barang seminggu atau dua minggu. Agar bisa melupakan kekacauan pikiran yang ada di kota.
Di samping pintu, kusandarkan badan menghadap pohon-pohon rambutan yang rindang itu. bersama kopi dan dua jenis tembakau boyolali yang siap menemani disaat sepi. Teringat kembali buku usang yang aku temukan di gudang. sorot mataku mulai tertuju pada rak buku yang berderet. Tapi tak jua aku temukan buku itu. aku angkat badan, kubongkar kardus-kardus yang ada di pojok kamar. Eureka! Buku sudah aku temukan kembali.
Lengkap sudah. ditemani buku yang belum pernah terbaca olehku, kopi dan tembakau. Sekarang, siap mengisi waktu luang.
Lebar demi lembar halaman awal sudah terbaca. Tertulis di buku itu, kakekku yang bernama Suyapto dan teman-temannya mengalami masa suram. Di desa, pernah terjadi peristiwa pembunuhan. Akibat kabar angin yang memfitnah bahwa kakek dan teman organisasi pemuda desa terlibat dalam aksi pemberontakan terhadap negara.
Kabar itu berhembus secepat angin. Segerombolan pasukan berpakaian seperti tentara dan bersenjata lengkap, datang ke desa mengintrogasi warga dari rumah ke rumah. Rumahku pun tidak luput. Warga yang terduga terlibat, dibawa ke rumah kepala desa. Kakek lari dan bersembunyi di sawah. Nenekku sebelum dibawa ke rumah kepala desa, sempat ditanya oleh kepala tentara sambil menodongkan senjata, seolah dia adalah tawanan penjara kelas kakap. Di buku tercatat, kalau Sutinah, nama nenekku, telah di todong senjata. Saksinya adalah warga yang menunjukkan letak rumahku, kemudian dia menceritakan itu kepada kakek dan memohon maaf atas perbuatannya. Karena ketakutannya, ia harus menunjukkan letak rumah kakek.
Usai dibawa ke rumah kepala desa, nenek dan warga lain yang berada di kepala desa,  hilang entah kemana, setelah mereka disuruh naik ke mobil milik tentara. Kakek Suyapto, yang bersembunyi di sawah hingga petang tiba dan tetap bersembunyi di sana sampai pagi penjelang.
Burung-burung berkicau di pagi hari. Daun-daun yang menempel di pepohonan sudah banyak dilumuri embun. Tapi kicauan burung itu tidak menyuarakan nanyian merdu seperti biasanya di benak kakek, dan embun-embun hilang dengan cepat. Seakan ada suatu yang tidak seperti hari-hari yang biasa dilewati kakek di desa.
Oh Tuhan.. ternyata sungai yang jaraknya tidak jauh dengan sawah, pagi ini, airnya mengalirkan warna merah, darah. Ya, itu darah! air itu berwarna darah. Lantas kakek tersentak melihat itu. dia berlari menuju rumah. Dengan cepat Dia berlari, sedang duri-duri ada di rumput-rumput hijau, tak mampu lagi membuat kaki kakek sakit. Pikirannya sudah fokus pada keadaan nenek. Hatinya sudah di selimuti rasa khawatir yang teramat besar.
Keadaan semakin menegangkan. Merdu suara burung tidak dapat didengar sebagai aluran musik alam yang indah, melaikan musik penabuh perang. Musik yang mendatangkan kematian.
Brakk... ditendangnya pintu rumah oleh kakek. Tendangan yang keras itu membuat engsel pintu yang dibawah, copot. Kakek berteriak memanggil ayah yang kemarin terlihat oleh kakek, orang yang terakhir bersama nenek di rumah. Mencari di kamar depan tidak ada. Di setiap kamar rumah, tidak ditemukan seorangpun, baik nenek ataupun ayah.
Akhirnya kakek menemukan ayah di pekarangan belakang rumah. Di satu gubuk kecil tempat biasa nenek menikmati udara senja datang. Ayah duduk. Dia menundukkan kepala sembari menutup muka dengan kedua telapak tangannya. Dari sela-sela jari, berkucuran air mata ayah. Lirih suara tangis kesedihan memuncak ketika ayah mengetahui kakek telah tiba di pekarangan rumah.
Ayah yang masih berusia 17 tahun, didekap tubuhnya oleh kakek. Air mata yang mengalir dari kedua mata ayah sudah memberikan isyarat bahwa nenek sudah tidak ada lagi. sudah dibawa serdadu tentara di suatu tempat yang mereka tidak ketahui.
Kakek tidak menyangka bahwa yang akan di bawa oleh tentara adalah nenek. Kakek dan teman-temannya yang bersembunyi di sawah, pun tidak menyadari keluarganya yang akan menjadi korban menggantikan orang desa yang di tuduh ikut serta dalam pemberontakan.
Kabar bahwa akan datang serdadu tentara sudah terdengar oleh warga desa sejak seminggu yang lalu. Namun warga setempat sudah sepakat kalau orang-orang yang dituduh itu bersembunyi saja. Karena isu-isu yang dituduh terlibat, sudah dipastikan adalah para petinggi desa dan pemuda yang mempunyai posisi tinggi dalam kepengurusan desa.
Mendapat kabar warga desa lain yang pernah kejadian sama, yang akhirnya dialami juga oleh warga desa Kali Biru, maka hasil kesepakatan bersama, 10 orang bersembunyi di suatu tempat dan persembunyiaannya harus berbeda.
Akan tetapi, ini semua telah terjadi. Istri orang yang dituduh, akhirnya darah mereka menjadi pengganti. Ayah yang masih mengangis tak sanggup lagi melontarkan sepatah kata kepada kakek untuk meminta maaf karena tidak bisa menyelamatkan nenek.
 Kemudian keadaan menjadi hening. Mereka berdua dan warga desa yang mengalami kesedihan yang sama, tidak tahu siapa yang menjadi dalang fitnah ini. serdadu tentara bersenjata lengkap itu adalah suruhan siapa? Warga tidak ada yang tahu.
2 sampai 3 hari, warga berbondong-bondong mencari darimana sumber darah yang bercampur air mengalir, yang dilihat ayah di sawah saat sembunyi. Namun hasil tetap nihil. Jejak-jejak pembunuhan tidak ditemukan sama-sekali.
Kesedihan kakek dan ayah mulai memuncak.
Berlangsung lama tidak ada kabar tentang warga yang disandra tentara. Kakek hanya bisa pasrah, dan yakin bahwa mengalirnya darah yang ia lihat di sungai adalah  darah warga desa yang kemudian dibunuh. Jasad-jasadnya pun tidak tahu dikubur dimana. Biarlah mereka menyatu dengan alam, ucapku dalam hati. 
***
Ejaan lama membuat aku harus teliti lagi dalam membacanya. Ada juga tulisannya yang sudah pudar, namun tetap dapat aku pahami maksud dan alur ceritanya.
Peristiwa yang tertulis didalam buku “Tjatatan Perjoeangan” milik kakek ini, adalah tulisan asli. Dia mencatat kisah suram yang pernah terjadi di desa. Tapi heranku, tidak ada orang desa sekarang yang mengetahui atau mungkin, setidaknya mewariskan cerita ini kepada anak-anaknya. Ayah tidak pernah bercerita tentang ini. untung saja aku dapat mengabadikan cerita ini dalam ingatanku.
Pastinya karena buku ini, aku dapat mengetahui peristiwa itu. entah juga siapa dalang dibalik semua peristiwa yang telah merenggut nenek dari kehidupan keluargaku. Seakan ini menjadi kisah pahit juga dalam riwayat-riwayat nenek moyangku. Hingga peristiwa ini memfosil dalam alur kehidupan yang terus melaju kencang.
kopi sudah tinggal ampasnya. Rokok masih aku pegang di tangah, dan buku sudah kututup. Harapku, semua akan terungkap, dan  siapapun dalangnya, kebenaran akan menuntut keberadaanya dalam setiap peritiwa yang terjadi, kelak.

Jogja 24 Mei 2015