Seteguk kopi mulai aku nikmati. Seperti menikmati anggur merah yang tertuang dalam gelas kecil di tempat wanita-wanita pendusta sabda Tuhan yang sedang menjajankan tubuhnya. Begitulah dunia dengan segala konsep yang telah dibentuk dengan rapi oleh para pemikir kehidupan. Harus ada yang salah dan ada yang mengaku benar, karena tidak mungkin dari keduanya dipaksa sama. Tidak ada pula perjuangan jika tidak ada perbedaan dari salah satu yang mengaku berada di jalan kebenaran. Heran memang, dan ini harus diterima sebagai kenyataan.
Masih tergiang kata-kata seorang wanita malam dalam ingatanku “neng dunnyo iki ora ono seng sepurno le” begitulah kiranya dia mengataiku dengan dengan raut wajah semangat membela bahwa apa yang sedang dilakukannya memang atas kehendak dia yang telah direstui alam. Namun sempat saja, kopi hitam yang ada didepan wajahku seolah berkata “ah itu hanya sekedar pembelaan belaka. Setiap orang akan membela dirinya sendiri, supaya yang dia jalani tetap dianggap kebenaran, walaupun tidak nampak saja”.
Itulh kisah yang teringat dikepalaku saat aku menikmati kopi sendiri. Bersama buku, rokok, dan hayalan-hayalan konyol yang dibuat oleh akalku sendiri. Akan tetapi, sendiri tidak membuat rasa sedih menghapiri, pun tidak sedikit ruang dalam pikiran tidak terisi, karena ada tiga serangkai teman tadi yang selalu ada dan tidak pernah berkhianat.
Mencoba berpikir dalam-dalam tentang nasihat dari seorang yang aku juluki sebagai pedusta sabda Tuhan. Aku berprasangka bahwa dia terdesak ekonomi, tapi jika dia berhadapan dengan seorang tokoh agama, mungkin saja beribu kata ocehan akan menerpa mukanya. Tentu, neraka akan menantinya kelak dihari pembalasan.
Andai saja pada saat hari pembalasan itu, aku bisa menegur Tuhan, dan akan berbicara lantang dihadapannya “Tuhan, kau ini bagaimana? Kau mencipkatan kami seolah mainan yang kau buat untuk memenuhi hasratmu, untuk menghiburmu dalam kesepian tanpa seorang kekasih yang sanggup membelaimu ketika malam tiba dan yang akan mengucapkan selamat pagi ketika pagi mulai datang, lalu mengecup bibirmu setelahnya. Kau kesepian kan? Lalu kau menciptakan kami disaat kau merasakan itu. Dan kenapa ketika ciptaanmu mejalankan kehidupan yang kau berikan, kenapa kau tidak menjadikannya seseorang yang kau inginkan agar kau puas dengan keinginanmu? Kau maha kuasa, maha berkehendak, maha segalanya. Menjadikannya terhindar dari tempat penjualan badan agar dia seperti apa yang kau inginkan saja, kau tidak bisa”. Hanya hayalanku saja. Namun jika memang benar aku bisa berkehendak dihadapan tuhan nanti, aku akan berkata begitu.
Kembali pada kopi lagi. Tiada kopi, tiada hanyalan yang kemana-mana pula. Tapi kenikmatan ini mengajak pikiranku mengarungi lembah yang jarang dijamah orang lain. Seperti hayalan yang tidak berani orang menyentuhnya, dalam artian pikiran yang akan menjadikan iman seseorang tergelincir dari tempat berdirinya. Tapi ini bukan salahku, jika dengan alasan bahwa Tuhanlah yang memberikan akal pikiran. Jadi apapun yang diperbuat oleh akal, itu salah si pembuat yang membuatnya menjadi liar. Ah.. itu hanya hayalan saja. Maklum dari keadaan sepi seperti ini, hal yang paling enak untuk dilakukan adalah berhayal, selain dari memadang layar handphone.
12 04 2015