Senin, 15 Juni 2015

Cerita Dua Pasang Bola Mata

Ada ranting pohon yang patah saat matari tumbuh dewasa.
Ada pula daun yang gugur tak kala angin berdansa,
sejak melihat dua pasang bola mata berlagak cemas,
menghampiri kobaran api.

Ini cerita sekaligus candu ketakutan akan semua ilusi yang tercipta.

Entah siapa yang memulai,
tapi mundurnya waktu tidak mampu menjawab riuhnya suara tabuhan gending perang.
Mulai lah kaki-kaki berjalan menuju lapangan,
seraya berucap nama yang tiada wujud itu di alam bebas.
Lalu banyak tangisan anak kecil yang melepas kepergian bapak-bapak,
yang membawa obor kematian!

 Para istri yang duduk di antara daun yang berserakan di tanah,
menjadi janda dan menangis tersedu-sedu melihat gajah itu menjadi bangkai.
Sebab ganasnya api membuat tubuh menjadi debu,
kemudian hamparan bau surga menantinya esok hari.

Matahari mulai terbit lagi.

Tidak seperti hari kemarin yang bercerita tentang kesedihan batu karang,
sedikit demi sedikit terkikis obak, tetapi lamunan bumi yang disiram darah,
saat ini terus menangis bernada pilu.
 "Kamu dimana?" Pertanyaan kaku anak kecil yang sedang diselimuti rindu,
terbang tak tentu arah, karena tujuan utamanya tertutup kabut,
yang kemudian menghilang.

Cerita ini akan ditutup karena ada parit menghalagi jalannya waktu.
Air mengalir, menjadi kata yang hilang oleh ucap-ucap deras wujud kosong,
wuujud pada dua pasang bola mata itu.

Jogja 16 Juni 2015

0 komentar:

Posting Komentar