Kali Biru, desa yang sunyi dan tentram.
Masyarakatnya hidup rukun. Jarang sekali ada pertikaian antar tentanga ataupun
desa. Jika ada, hanya sesekali saja, dan itu dapat diatasi secara kekeluargaan.
Tidak perlu ada konflik kekerasan yang membuat mereka harus bermusuhan hingga
turun-temurun. Sudah semestinya masyarakat desa seperti itu. mengusung
nilai-nilai Pancasila, dan menjaga utuhnya budaya gotong royong.
Desa yang terletak dibawah kaki gunung
ini, mempunyai banyak lahan-lahan sawah. Mata pencarian utama masyarakatnya
adalah bertani, menanam segalanya yang dapat menunjang hidup. Aliran sungai
yang membatasi antara sawah dan rumah-rumah warga, selain membantu untuk
kebutuhan sehari-hari warganya, juga membantu menyuburkan tanaman.
Pohon rambutan tumbuh berjejeran di
pinggir jalan hingga ujung desa. Dari mulai rumah kepala desa sampai ujung
jalan raya yang sering dilalui kendaraan transportasi kota. Begitu indah desa
ini. namun tidak semua orang tahu bahwa di desa ini menyimpan cerita pahit.
Cerita yang tidak semua warga mengetahuinya. Hanya saja, masyarakat desa yang
berusia sekitar 80 tahun keatas yang tahu.
Di usiaku yang masih terhitung remaja,
18 tahun, seketika itu pernah aku dapatkan sebuah buku yang usang di almari
yang ada di gudang. Judul buku tertulis “Tjatatan Perjoeangan”. Tanpa
sepengetahuan Ayah, aku membawa buku itu. kini, usiaku menginjak 25 tahun.
Sudah saatnya aku harus pulang ke desa. Terlalu lama menuntut ilmu di kota
sampai lupa bahwa aku terlahir di desa Kali Biru, dan pasti masyarakat
membutuhkan tenaga dan pengetahuanku.
Buku tua yang aku temukan di gudang,
sekarang berada di tanganku, namun tidak sempat ku baca karena sibuk dengan
dunia perkuliahan.
***
Semilir angin dari luar masuk ke kamar melalui
pentilasi. Musim hujan telah berganti. Akan tetapi, musim panas belum terlalu
mecekik. Di depan kos, terdapat dua pohon rambutan besar. Jadi, mungkin saja
pohon itu membantu udara siang ini tidak panas.Mengingatkanku akan desa. Ya,
desa Kali biru. sehabis sidang skripsi, aku sudah agendakan waktuku untuk
pulang. Barang seminggu atau dua minggu. Agar bisa melupakan kekacauan pikiran
yang ada di kota.
Di samping pintu, kusandarkan badan
menghadap pohon-pohon rambutan yang rindang itu. bersama kopi dan dua jenis
tembakau boyolali yang siap menemani disaat sepi. Teringat kembali buku usang
yang aku temukan di gudang. sorot mataku mulai tertuju pada rak buku yang
berderet. Tapi tak jua aku temukan buku itu. aku angkat badan, kubongkar
kardus-kardus yang ada di pojok kamar. Eureka! Buku sudah aku temukan kembali.
Lengkap sudah. ditemani buku yang belum
pernah terbaca olehku, kopi dan tembakau. Sekarang, siap mengisi waktu luang.
Lebar demi lembar halaman awal sudah
terbaca. Tertulis di buku itu, kakekku yang bernama Suyapto dan teman-temannya
mengalami masa suram. Di desa, pernah terjadi peristiwa pembunuhan. Akibat
kabar angin yang memfitnah bahwa kakek dan teman organisasi pemuda desa
terlibat dalam aksi pemberontakan terhadap negara.
Kabar itu berhembus secepat angin.
Segerombolan pasukan berpakaian seperti tentara dan bersenjata lengkap, datang
ke desa mengintrogasi warga dari rumah ke rumah. Rumahku pun tidak luput. Warga
yang terduga terlibat, dibawa ke rumah kepala desa. Kakek lari dan bersembunyi
di sawah. Nenekku sebelum dibawa ke rumah kepala desa, sempat ditanya oleh
kepala tentara sambil menodongkan senjata, seolah dia adalah tawanan penjara
kelas kakap. Di buku tercatat, kalau Sutinah, nama nenekku, telah di todong
senjata. Saksinya adalah warga yang menunjukkan letak rumahku, kemudian dia
menceritakan itu kepada kakek dan memohon maaf atas perbuatannya. Karena
ketakutannya, ia harus menunjukkan letak rumah kakek.
Usai dibawa ke rumah kepala desa, nenek
dan warga lain yang berada di kepala desa,
hilang entah kemana, setelah mereka disuruh naik ke mobil milik tentara.
Kakek Suyapto, yang bersembunyi di sawah hingga petang tiba dan tetap
bersembunyi di sana sampai pagi penjelang.
Burung-burung berkicau di pagi hari.
Daun-daun yang menempel di pepohonan sudah banyak dilumuri embun. Tapi kicauan
burung itu tidak menyuarakan nanyian merdu seperti biasanya di benak kakek, dan
embun-embun hilang dengan cepat. Seakan ada suatu yang tidak seperti hari-hari
yang biasa dilewati kakek di desa.
Oh Tuhan.. ternyata sungai yang jaraknya
tidak jauh dengan sawah, pagi ini, airnya mengalirkan warna merah, darah. Ya,
itu darah! air itu berwarna darah. Lantas kakek tersentak melihat itu. dia
berlari menuju rumah. Dengan cepat Dia berlari, sedang duri-duri ada di rumput-rumput
hijau, tak mampu lagi membuat kaki kakek sakit. Pikirannya sudah fokus pada
keadaan nenek. Hatinya sudah di selimuti rasa khawatir yang teramat besar.
Keadaan semakin menegangkan. Merdu suara
burung tidak dapat didengar sebagai aluran musik alam yang indah, melaikan
musik penabuh perang. Musik yang mendatangkan kematian.
Brakk... ditendangnya pintu rumah oleh
kakek. Tendangan yang keras itu membuat engsel pintu yang dibawah, copot. Kakek
berteriak memanggil ayah yang kemarin terlihat oleh kakek, orang yang terakhir
bersama nenek di rumah. Mencari di kamar depan tidak ada. Di setiap kamar
rumah, tidak ditemukan seorangpun, baik nenek ataupun ayah.
Akhirnya kakek menemukan ayah di
pekarangan belakang rumah. Di satu gubuk kecil tempat biasa nenek menikmati
udara senja datang. Ayah duduk. Dia menundukkan kepala sembari menutup muka
dengan kedua telapak tangannya. Dari sela-sela jari, berkucuran air mata ayah.
Lirih suara tangis kesedihan memuncak ketika ayah mengetahui kakek telah tiba
di pekarangan rumah.
Ayah yang masih berusia 17 tahun,
didekap tubuhnya oleh kakek. Air mata yang mengalir dari kedua mata ayah sudah
memberikan isyarat bahwa nenek sudah tidak ada lagi. sudah dibawa serdadu
tentara di suatu tempat yang mereka tidak ketahui.
Kakek tidak menyangka bahwa yang akan di
bawa oleh tentara adalah nenek. Kakek dan teman-temannya yang bersembunyi di
sawah, pun tidak menyadari keluarganya yang akan menjadi korban menggantikan
orang desa yang di tuduh ikut serta dalam pemberontakan.
Kabar bahwa akan datang serdadu tentara
sudah terdengar oleh warga desa sejak seminggu yang lalu. Namun warga setempat
sudah sepakat kalau orang-orang yang dituduh itu bersembunyi saja. Karena
isu-isu yang dituduh terlibat, sudah dipastikan adalah para petinggi desa dan
pemuda yang mempunyai posisi tinggi dalam kepengurusan desa.
Mendapat kabar warga desa lain yang
pernah kejadian sama, yang akhirnya dialami juga oleh warga desa Kali Biru,
maka hasil kesepakatan bersama, 10 orang bersembunyi di suatu tempat dan
persembunyiaannya harus berbeda.
Akan tetapi, ini semua telah terjadi.
Istri orang yang dituduh, akhirnya darah mereka menjadi pengganti. Ayah yang
masih mengangis tak sanggup lagi melontarkan sepatah kata kepada kakek untuk
meminta maaf karena tidak bisa menyelamatkan nenek.
Kemudian keadaan menjadi hening. Mereka berdua
dan warga desa yang mengalami kesedihan yang sama, tidak tahu siapa yang
menjadi dalang fitnah ini. serdadu tentara bersenjata lengkap itu adalah
suruhan siapa? Warga tidak ada yang tahu.
2 sampai 3 hari, warga
berbondong-bondong mencari darimana sumber darah yang bercampur air mengalir,
yang dilihat ayah di sawah saat sembunyi. Namun hasil tetap nihil. Jejak-jejak
pembunuhan tidak ditemukan sama-sekali.
Kesedihan kakek dan ayah mulai memuncak.
Berlangsung lama tidak ada kabar tentang
warga yang disandra tentara. Kakek hanya bisa pasrah, dan yakin bahwa
mengalirnya darah yang ia lihat di sungai adalah darah warga desa yang kemudian dibunuh.
Jasad-jasadnya pun tidak tahu dikubur dimana. Biarlah mereka menyatu dengan
alam, ucapku dalam hati.
***
Ejaan lama membuat aku harus teliti lagi
dalam membacanya. Ada juga tulisannya yang sudah pudar, namun tetap dapat aku
pahami maksud dan alur ceritanya.
Peristiwa yang tertulis didalam buku
“Tjatatan Perjoeangan” milik kakek ini, adalah tulisan asli. Dia mencatat kisah
suram yang pernah terjadi di desa. Tapi heranku, tidak ada orang desa sekarang
yang mengetahui atau mungkin, setidaknya mewariskan cerita ini kepada
anak-anaknya. Ayah tidak pernah bercerita tentang ini. untung saja aku dapat
mengabadikan cerita ini dalam ingatanku.
Pastinya karena buku ini, aku dapat
mengetahui peristiwa itu. entah juga siapa dalang dibalik semua peristiwa yang
telah merenggut nenek dari kehidupan keluargaku. Seakan ini menjadi kisah pahit
juga dalam riwayat-riwayat nenek moyangku. Hingga peristiwa ini memfosil dalam
alur kehidupan yang terus melaju kencang.
kopi sudah tinggal ampasnya. Rokok masih
aku pegang di tangah, dan buku sudah kututup. Harapku, semua akan terungkap,
dan siapapun dalangnya, kebenaran akan
menuntut keberadaanya dalam setiap peritiwa yang terjadi, kelak.
Jogja 24 Mei 2015