Kamis, 02 Juli 2015

Catatan Dalam Buku Yang Usang


                                                            

Kali Biru, desa yang sunyi dan tentram. Masyarakatnya hidup rukun. Jarang sekali ada pertikaian antar tentanga ataupun desa. Jika ada, hanya sesekali saja, dan itu dapat diatasi secara kekeluargaan. Tidak perlu ada konflik kekerasan yang membuat mereka harus bermusuhan hingga turun-temurun. Sudah semestinya masyarakat desa seperti itu. mengusung nilai-nilai Pancasila, dan menjaga utuhnya budaya gotong royong.
Desa yang terletak dibawah kaki gunung ini, mempunyai banyak lahan-lahan sawah. Mata pencarian utama masyarakatnya adalah bertani, menanam segalanya yang dapat menunjang hidup. Aliran sungai yang membatasi antara sawah dan rumah-rumah warga, selain membantu untuk kebutuhan sehari-hari warganya, juga membantu menyuburkan tanaman.
Pohon rambutan tumbuh berjejeran di pinggir jalan hingga ujung desa. Dari mulai rumah kepala desa sampai ujung jalan raya yang sering dilalui kendaraan transportasi kota. Begitu indah desa ini. namun tidak semua orang tahu bahwa di desa ini menyimpan cerita pahit. Cerita yang tidak semua warga mengetahuinya. Hanya saja, masyarakat desa yang berusia sekitar 80 tahun keatas yang tahu.
Di usiaku yang masih terhitung remaja, 18 tahun, seketika itu pernah aku dapatkan sebuah buku yang usang di almari yang ada di gudang. Judul buku tertulis “Tjatatan Perjoeangan”. Tanpa sepengetahuan Ayah, aku membawa buku itu. kini, usiaku menginjak 25 tahun. Sudah saatnya aku harus pulang ke desa. Terlalu lama menuntut ilmu di kota sampai lupa bahwa aku terlahir di desa Kali Biru, dan pasti masyarakat membutuhkan tenaga dan pengetahuanku.
Buku tua yang aku temukan di gudang, sekarang berada di tanganku, namun tidak sempat ku baca karena sibuk dengan dunia perkuliahan.
***
Semilir angin dari luar masuk ke kamar melalui pentilasi. Musim hujan telah berganti. Akan tetapi, musim panas belum terlalu mecekik. Di depan kos, terdapat dua pohon rambutan besar. Jadi, mungkin saja pohon itu membantu udara siang ini tidak panas.Mengingatkanku akan desa. Ya, desa Kali biru. sehabis sidang skripsi, aku sudah agendakan waktuku untuk pulang. Barang seminggu atau dua minggu. Agar bisa melupakan kekacauan pikiran yang ada di kota.
Di samping pintu, kusandarkan badan menghadap pohon-pohon rambutan yang rindang itu. bersama kopi dan dua jenis tembakau boyolali yang siap menemani disaat sepi. Teringat kembali buku usang yang aku temukan di gudang. sorot mataku mulai tertuju pada rak buku yang berderet. Tapi tak jua aku temukan buku itu. aku angkat badan, kubongkar kardus-kardus yang ada di pojok kamar. Eureka! Buku sudah aku temukan kembali.
Lengkap sudah. ditemani buku yang belum pernah terbaca olehku, kopi dan tembakau. Sekarang, siap mengisi waktu luang.
Lebar demi lembar halaman awal sudah terbaca. Tertulis di buku itu, kakekku yang bernama Suyapto dan teman-temannya mengalami masa suram. Di desa, pernah terjadi peristiwa pembunuhan. Akibat kabar angin yang memfitnah bahwa kakek dan teman organisasi pemuda desa terlibat dalam aksi pemberontakan terhadap negara.
Kabar itu berhembus secepat angin. Segerombolan pasukan berpakaian seperti tentara dan bersenjata lengkap, datang ke desa mengintrogasi warga dari rumah ke rumah. Rumahku pun tidak luput. Warga yang terduga terlibat, dibawa ke rumah kepala desa. Kakek lari dan bersembunyi di sawah. Nenekku sebelum dibawa ke rumah kepala desa, sempat ditanya oleh kepala tentara sambil menodongkan senjata, seolah dia adalah tawanan penjara kelas kakap. Di buku tercatat, kalau Sutinah, nama nenekku, telah di todong senjata. Saksinya adalah warga yang menunjukkan letak rumahku, kemudian dia menceritakan itu kepada kakek dan memohon maaf atas perbuatannya. Karena ketakutannya, ia harus menunjukkan letak rumah kakek.
Usai dibawa ke rumah kepala desa, nenek dan warga lain yang berada di kepala desa,  hilang entah kemana, setelah mereka disuruh naik ke mobil milik tentara. Kakek Suyapto, yang bersembunyi di sawah hingga petang tiba dan tetap bersembunyi di sana sampai pagi penjelang.
Burung-burung berkicau di pagi hari. Daun-daun yang menempel di pepohonan sudah banyak dilumuri embun. Tapi kicauan burung itu tidak menyuarakan nanyian merdu seperti biasanya di benak kakek, dan embun-embun hilang dengan cepat. Seakan ada suatu yang tidak seperti hari-hari yang biasa dilewati kakek di desa.
Oh Tuhan.. ternyata sungai yang jaraknya tidak jauh dengan sawah, pagi ini, airnya mengalirkan warna merah, darah. Ya, itu darah! air itu berwarna darah. Lantas kakek tersentak melihat itu. dia berlari menuju rumah. Dengan cepat Dia berlari, sedang duri-duri ada di rumput-rumput hijau, tak mampu lagi membuat kaki kakek sakit. Pikirannya sudah fokus pada keadaan nenek. Hatinya sudah di selimuti rasa khawatir yang teramat besar.
Keadaan semakin menegangkan. Merdu suara burung tidak dapat didengar sebagai aluran musik alam yang indah, melaikan musik penabuh perang. Musik yang mendatangkan kematian.
Brakk... ditendangnya pintu rumah oleh kakek. Tendangan yang keras itu membuat engsel pintu yang dibawah, copot. Kakek berteriak memanggil ayah yang kemarin terlihat oleh kakek, orang yang terakhir bersama nenek di rumah. Mencari di kamar depan tidak ada. Di setiap kamar rumah, tidak ditemukan seorangpun, baik nenek ataupun ayah.
Akhirnya kakek menemukan ayah di pekarangan belakang rumah. Di satu gubuk kecil tempat biasa nenek menikmati udara senja datang. Ayah duduk. Dia menundukkan kepala sembari menutup muka dengan kedua telapak tangannya. Dari sela-sela jari, berkucuran air mata ayah. Lirih suara tangis kesedihan memuncak ketika ayah mengetahui kakek telah tiba di pekarangan rumah.
Ayah yang masih berusia 17 tahun, didekap tubuhnya oleh kakek. Air mata yang mengalir dari kedua mata ayah sudah memberikan isyarat bahwa nenek sudah tidak ada lagi. sudah dibawa serdadu tentara di suatu tempat yang mereka tidak ketahui.
Kakek tidak menyangka bahwa yang akan di bawa oleh tentara adalah nenek. Kakek dan teman-temannya yang bersembunyi di sawah, pun tidak menyadari keluarganya yang akan menjadi korban menggantikan orang desa yang di tuduh ikut serta dalam pemberontakan.
Kabar bahwa akan datang serdadu tentara sudah terdengar oleh warga desa sejak seminggu yang lalu. Namun warga setempat sudah sepakat kalau orang-orang yang dituduh itu bersembunyi saja. Karena isu-isu yang dituduh terlibat, sudah dipastikan adalah para petinggi desa dan pemuda yang mempunyai posisi tinggi dalam kepengurusan desa.
Mendapat kabar warga desa lain yang pernah kejadian sama, yang akhirnya dialami juga oleh warga desa Kali Biru, maka hasil kesepakatan bersama, 10 orang bersembunyi di suatu tempat dan persembunyiaannya harus berbeda.
Akan tetapi, ini semua telah terjadi. Istri orang yang dituduh, akhirnya darah mereka menjadi pengganti. Ayah yang masih mengangis tak sanggup lagi melontarkan sepatah kata kepada kakek untuk meminta maaf karena tidak bisa menyelamatkan nenek.
 Kemudian keadaan menjadi hening. Mereka berdua dan warga desa yang mengalami kesedihan yang sama, tidak tahu siapa yang menjadi dalang fitnah ini. serdadu tentara bersenjata lengkap itu adalah suruhan siapa? Warga tidak ada yang tahu.
2 sampai 3 hari, warga berbondong-bondong mencari darimana sumber darah yang bercampur air mengalir, yang dilihat ayah di sawah saat sembunyi. Namun hasil tetap nihil. Jejak-jejak pembunuhan tidak ditemukan sama-sekali.
Kesedihan kakek dan ayah mulai memuncak.
Berlangsung lama tidak ada kabar tentang warga yang disandra tentara. Kakek hanya bisa pasrah, dan yakin bahwa mengalirnya darah yang ia lihat di sungai adalah  darah warga desa yang kemudian dibunuh. Jasad-jasadnya pun tidak tahu dikubur dimana. Biarlah mereka menyatu dengan alam, ucapku dalam hati. 
***
Ejaan lama membuat aku harus teliti lagi dalam membacanya. Ada juga tulisannya yang sudah pudar, namun tetap dapat aku pahami maksud dan alur ceritanya.
Peristiwa yang tertulis didalam buku “Tjatatan Perjoeangan” milik kakek ini, adalah tulisan asli. Dia mencatat kisah suram yang pernah terjadi di desa. Tapi heranku, tidak ada orang desa sekarang yang mengetahui atau mungkin, setidaknya mewariskan cerita ini kepada anak-anaknya. Ayah tidak pernah bercerita tentang ini. untung saja aku dapat mengabadikan cerita ini dalam ingatanku.
Pastinya karena buku ini, aku dapat mengetahui peristiwa itu. entah juga siapa dalang dibalik semua peristiwa yang telah merenggut nenek dari kehidupan keluargaku. Seakan ini menjadi kisah pahit juga dalam riwayat-riwayat nenek moyangku. Hingga peristiwa ini memfosil dalam alur kehidupan yang terus melaju kencang.
kopi sudah tinggal ampasnya. Rokok masih aku pegang di tangah, dan buku sudah kututup. Harapku, semua akan terungkap, dan  siapapun dalangnya, kebenaran akan menuntut keberadaanya dalam setiap peritiwa yang terjadi, kelak.

Jogja 24 Mei 2015

Bowongso: Kopi dan Tembakau



Mengisi waktu liburan, saya bersama 4 orang teman, mengisinya dengan mlaku-mlaku bareng ke Wonosobo; sebuah kota yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Sekedar melihat update photo dan status di media sosial, yang kutahu bahwa kota itu berada di dataran tinggi: daerah yang terdapat beberapa gunung yang bisa didaki dan tempat pariwisatanya yang tak kalah indah dengan yang lain.

Dua hari kami berdiam di sana; menginap di rumah teman yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan pasar kertek. Tambah satu teman yang berdomisili disana, kami ber-6 mengunjungi desa Bowongso. Untuk mengunjunginya dibutuhkan waktu sekitar 20 menit mengunakan sepeda motor.

Jalur menuju desa tersebut harus melalui banyak tanjakan dan kondisi jalan yang belubang –mungkin lebar jalan seperti lebar mobil. Sebab keberadaan desa ini berada di atas bukit, jadi dari penginapan letaknya lumayan jauh. View-nya cukup bagus, diperjalan menuju temapat ini, nanti akan disuguhi alam desa yang indah: sebuah desa terdapat banyak sawah yang ditumbuhi sayur-sayuran, pohon yang berbuah kopi, hijaunya dau-daun teh yang luas, tembakau yang tumbuh berjejeran dan kabut-kabut tipis dan hawa dingin akan menyertai.

Tujuan kami tidak lain untuk berburu kopi khas Wonosobo dan tempat yang dapat dijadikan agenda mlaku-mlaku kami. Mendapat cerita dari teman yang sudah 6 bulan tinggal disana: petani desa ini, selain bercocoktanam sayur-sayuran, juga berkebun kopi jenis arabica dan teh. Sayangnya, kami tidak mendapatkan informasi tentang perkebunan teh yang ada disini. Melainkan hanya kopi dan tembakau.

Sampai di basecamp organisasi petani ‘Bina Sejahtera’ . Disini kami ditemui oleh salah satu pemuda desa. Ia memperkenalkan kepada kami tentang aktifitas keseharian warga yang kebanyakan bertani, penghasilan hingga kepada siapa saja dikirim. Ia pun menunjukkan hasil panennya: kopi yang sudah di roasting dan tembakau yang sudah diolah menjadi tembakau yang siap untuk dihisap. Bentuk tembakaunya kotak berwarna coklat kehitam-hitaman, jika dilihat sekilas dan dicium aromanya seperti kue coklat: brownis. Tidak disangka kalau yang saya pegang adalah tembakau bowongso yang sudah jadi.

Untuk membuat tembakau ini sehingga terasa nyaman ketika dihisap, perlu didiamkan bertahun tahun. ”tambah suwi iki tambah wuenak, mas, ming bako koyo ngene sitik abot”  : semakin lama tembakau ini semakin lama, mas, tapi agak keras, katanya.

Saya tidak mencobanya sebab sedang puasa. teman kami yang tidak puasa, mencoba tembakau lintingan  ini. benar saja, jika tidak ditambah cengkeh atau menyan rasanya agak berat dan keras di tenggorokan. Lalu kami melihat hasil kopinya;  jenis  kopi yang tumbuh didataran tinggi berjenis arabica ini, mempunyai rasa asam namun tidak begitu kuat.

Hasil kopi dan tembakau petani Bowongso penjualannya sudah mencapai mancanegara. Per 100 gram kopi ini dijual seharga 20 ribu, dan jenis kopi lanang atau piberry dijual dua kali-lipat dari jenis biasa. Dan Tembakau Bowongso dihargai kisaran 700 ribu keatas perlencer (kotak). Namun  pemerintah setempat kurang mengapresiasi produksi kopi dan tembakau petani ini. Oleh karena itu, dalam jangka 2 tahun, keuntungan dari hasil panen kopi dan tembakau hanya digunakan untuk promosikan produk saja.

Sudah lama kami berbincang-bincang ngalor-ngidul dengan pemuda desa Bowongso. Kemudian kami memutuskan pamit pulang karena hari sudah menjelang sore. Sudah waktu pindah mlaku-mlaku ke tempat yang lain. 

Bukan Kertas

Sayup-sayup dingin dipertiga malam yang terhampar cahaya purnama
Kesemuan segala angan, terlukis dalam keindahan malam
Bintang-gemintang turut hadir menghibur setiap pasang mata yang memandang
Lalu antara kepala satu dengan lain saling beradu nasip
Ada yang ke utara; mencari kebahagiaan di ladang salju yang gelap
Ada yang ke timur; mengais bening air di kolam mata air
Ada yang ke selatan; berlari dari keramaian demi mendapatkan kesunyian
Ada yang ke barat; meluluhlantahkan keringat dan menghumbar semerbak harum bunga di segala penjuru arah untuk sebuah kertas yang tiada arti
Ya, kertas yang selalu kau cari diujung mimpi..
Bukan rasa bahagia yang didapat saat curah kasih senyum menampar segala muka
Bukan pula derai air mata yang jatuh sebab melihat sahabat yang telah kehilangan cahaya dalam dirinya
Namun cinta: rasa yang selalu dijunjung tinggi melebihi kebenaran itulah yang kita, kau dan segenap alis yang tubuh dimatamu itu, kawan, yang akan selalu inginkan

Kita selalu berhadap-hadapan...

Dua garis hitam diatas bola mata, serupa sedadu yang melepas pelurunya dari senjata, mulai beradu
Kemudian malam mulai menyimpan kembali keindahannya dari setiap mata manusia

Pagi tiba dengan cahayanya...
Indahnya, membuat kagum bayi yang baru lahir ke dunia
Namun tak ada nyanyian burung lagi, dan tak ada suaramu yang berdenging lagi di pagi hari
Tetapi hitam bayangan tubuhmu yang terhempas cahaya mentari, kawan
Telah menyadarkanku bahwa dunia tak sekedar kertas yang dapat diremas oleh tangan yang tergenggam keras

Jogja 3 Juli 2015

Sabtu, 20 Juni 2015

Aku Menunggu Kematian

Aku menunggu kematian..

Kujemput ketakutanku tentang itu
Saat hati merasakan takut pada niscaya
Ada orang yang berdiri diatas mimbar menawarkannya
Namun ketakutan telah kubunuh secepat cahaya

Aku ingin menyambut kematian...

Tak getar urat ketakutanku sebelum tertancap palu
Pernah mereka menakutiku!
Ancaman tajam rajam menungguku didepan mata
Itu hanyalah bualan yang dijual yang aku pun tak percaya


Aku menantang kematian..

Ketika gelap membawa obor yang berkobar api
Surga dilukis seindah mungkin sebagai penganti
Dalam tanah yang subur ditumbuhi bunga kamboja
Pertanyaan berduri memaksaku menjawabnya

Aku tak mau takluk pada kematian...

Kodrat terselimuti kepastian yang membuat ragu terbang
Kembali ucapan dalam kata datang membuat bimbang
Lalu kiaskan gambar ketakutan di wajah orang-orang 
Hingga menitih tangis dalam do'a setiap malam dipajang

Aku tak mau kematian menghantui...

Sebab ada yang tak mau anggun berubah menjadi rabun
Sebab diri yang dihasilkan cahaya selalu abadi
Kemudian membuat aku tetap berdiri diatas sehelai rambut 
Dan jika kematian datang maka akan kusambut


Wonosobo 20 Juni 2015

Jumat, 19 Juni 2015

Tentang Kita

Tentang kita, ada segerombolan manusia yang terusir dari tanahnya

Tentang kita, ada segerombolan ibu yang terasing dari tanahnya

Tentang kita, ada seorang yang mati dibunuh seorang tentara

Tentang kita, ada pentani yang dihajar oleh pasukan pengaman dirinya

Tentang kita, ada anak yang mati karena perebutan harta

Tentang kita, ada yang tidak dapat jaminan hidup karena tidak menganut agama impor

Tentang kita, ada yang segerombolan orang terusir sebab dianggap sesat

Tentang kita, ada yang katanya percaya perbedaan tapi tetap membunuh sesama manusia namun yang berbeda

Tentang kita, ada segerombolan orang asing yang merusak alam kepunyaan orang

Tentang kita, ada pemimpin yang menaruh nama diatas rakyat yang hampir menjadi mayat

Tentang kita, ada wanita yang di bunuh kemudian diperkosa karena hasrat uang sepuluh ribu

Tentang kita, ada raja yang mempertaruhakan sabda-sabda busuk untuk  melanjutkan tahtanya

Tentang kita, ada lahan yang akan digantikan gedung ala pusat penerbangan mewah

Tentang kita, ada pertempuran disidang pengadilan yang main sodor-sodoran kekuasaan

Tengang kita, ada orang banyak yang dikelabui tayangan wayang di layar kaca

Tentang kita, ada banyak cerita yang tidak pernah diceritakan dan tidak akan diceritakan sebab cerita kuno dianggap cerita yang datang dari cerita yang tidak dihendaki datang dan cerita yang baru dianggap paling menyenangkan dan akan banyak menghasilkan uang dari pada cerita yang bercerita tentang kita, kita yang dianggap telah usang jika ditulis dalam cerita yang akan disampaikan ke waktu yang akan datang. 

Jogja 19 Juni 2015

Mataku, Mata Damai dan Matamu

Aku selalu berteriak manis namun sangat keras
timbul rasa sadis menguak dari tong kosong
Lalu tinta hitam timbul dari tetesan air mata tuhan
Binar merah kemilau cahaya dari wajahmu, sekejap hilang
Kelabu cinta terpudarkan oleh rasa riang yang datang 

Aku selalu bertanya pada teresan darah yang tumpah
Di tanah yang kering dan di gedung yang hancur
Sebab damai adalah mimpi yang datang dari setiap ucapan manis
Sebab damai adalah candu bimbang para anjing yang selalu melong-long


Aku selalu mengankat jari-jari yang mengarah ke atas
Sekujur telur-telur damai hati tak kunjung meretas
Ada pun kasih yang dikata akan datang dari lonceng gereja
Ada pun hamparan anak yang diperanakkan dari telur damai, tidak pernah ada!

Ini kata yang bisu di semua mata

Mata kasih api, mata kasih peluh dadamu
Menyatu di setiap orok dahak binatang buas
Hantu-hantu palsu datang mengucapkan salam
Kepada tanah, kepada udara yang kia panas
Ucapkan damai yang tak lepas dari gengaman para penganut setan

Aku dan aku...

Pertanyaan hadir berwujud senjata bintang yang bertelur
Suara keras mengancam dibalik dada yang berair surga
Dunia yang dianggap bayangan palsu, itu tiada benar
Tidak ada harapan neraka dan kedatangan surga yang sama dengan yang ada
Matamu yang buta, telah buta selamanya sebab kata yang terurai di udara


Jogja 19 Juni 2015