Senin, 24 Agustus 2015

Siapa Saya?



Saya merasa agak berat jika menjawab pertanyaan "siapa kamu?". Sebab, pertanyaan ini adalah pertanyaan filosofis. Mungkin bagi orang biasa, pertanyaan ini hal yang mudah dijawab. jawabnya kadang menyebutkan nama saja; identitas diri yang mudah dikenali orang lain.

Seorang teman mempertanyan itu,  dengan cepat saya menjawab nama. Kemudian dia melemparkan tanya kembali, "saya tidak menanyakan siapa namamu, tapi yang saya tanyakan siapa kamu?". Saya berfikir sejenak tentang hal tersebut. Dan saya menyadari bahwa saya sangatlah tidak mengerti diri sendiri yang sebenarnya. Apakah saya adalah hamba tuhan? Tapi kalau saya tidak diperkenalkan agama sejak kecil, maka saya tidak akan mengatakan bahwa saya adalah hamba tuhan. Dan jika saya jawab dengan nama yang diberikan orang tua, tentunya itu sesuatu yang diberikan orang lain selain diriku untuk memudahkan orang lain mengenali saya.

Saya sungguh dibuat bingung menjawabnya. Mengenali diri sendiri saja tidak, apalagi mau mengenali siapa yang menciptakan, menghendaki saya untuk hidup, dan apa tujuan saya dihidupkan di dunia yang penuh duka. Saya pun tidak pernah minta untuk hidup di dunia ini. Kalau tahu hidup seperti ini, saya tidak akan meminta untuk dihidupkan, sungguh! Masalahnya, banyak yang harus diperjuangkan, diusahakan, dan lain-lain, yang membuat saya merasa jenuh dengan kehidupan. Apalagi, dogtrinitas agama, paham-paham yang dimunculkan oleh orang-orang tentang suatu konsep atau gagasan ideologi, membuat ada  sesuatu yang mengikat dalam diri saya. 

Disuruh ini-itu agar nanti bahagia, dikehidupan selanjutnya akan enak; masuk tempat yang diidolakan oleh manusia agamis, yakni surga, taman edan, nirvana, dll. Kebenaran itupun sempat saja saya pertanyakan, "apakah yang saya lakukan benar-benar perintah dari tuhan? Kok seperti budak saja saya harus melakukan sesuatu yang tidak awalnya tidak saya kehendaki. Aneh, bukan? Saya ada, tidak pernah minta, lalu kenapa saya disuruh ini-itu? Harusnya yang meng-ada-kan saya harus memenuhi apa yang saya suruh, karena saya tidak sama-sekali berkeinginan untuk diciptakan. Karenanya, yang menciptakan saya harus memenuhi kebutuhan hidup di dunia.

Perihal tentang "siapa saya" yang masih absurd dijelaskan. Kata-kata bijak orang-orang sufi; bahwa siapa yang mengenali dirinya maka akan mengenali siapa tuhannya. Dengan cara apa saya bisa mengenali diri saya? Dengan jawaban eksternal, atau yang internal diri? Nah, itulah yang harus dapat saya temukan dan oleh setiap orang. Karena dengan menganali diri, maka segalanya akan mudah dikenali. Dari apa yang dilakukan hingga hakikat dari apa yang dilakukan.

Untuk diri saya sendiri, ada sebuah pemikiran yang sedikit mencerahkan: kalau tuhan ada dan menciptakan segala yang ada, tidak mungkin ia menciptakan sesuatu dari selain dirinya. Karena jika menciptakan dari luar dirinya, dipastikan ke-maha-annya tidak bisa disandang, sebab ada hal lain yang juga ada selain dirinya. Ada hal yang juga ada bersamaan dengan keberadaannya. Dan manusia ada tidak mungkin diciptakan dari sesuatu selain tuhan. Jadi manusia adalah bagian dari diri tuhan sendiri.

Kalau seperti itu, apakah manusia adalah bagian dari dzat tuhan? Bisa jadi seperti itu. Alam dan seisinya tercipta dari bagian diri tuhan. Untuk itu, diperlukan sebuah pemahaman bahwa segala sesuatu adalah bagian dari kita; satu kesatuan yang pada awalnya adalah satu, yakni dzat tuhan. Yang kemudian tercipta menjadi beragam dan membentuk sesuatu yang dapat kita kenali sekarang: alam yang isinya beragam bentuk. 

Jadi jelas bahwa kesadaran tentang 'satu kesatuan diri' menjadi sesuatu yang perlu saya rasakan, pahami, dan mengaplikansikannya dalam kehidupan. 

Mungkin akan timbul pertanyaan kembali tentang itu, "apakah yang kita lakukan baik atau buruk adalah kehendak tuhan, atau pribadi?" Menurut saya, tentang pengendalian diri adalah pribadi, sebab apa yang saya lakukan adalah atas kehendak kita. Dalam ajaran buddha, pemilik seutuhnya diri adalah diri sendiri(pengendali sepenuhnya), tuhan sebagai pemilik kendali yang kedua. Karena kita ada, khususnya saya, melakukan apa yang saya lakukan dengan kemauan pribadi; namun tidak semaunya sendiri. Masih ada hal yang membuat diri saya memikirkan hal baik-buruk untuk dilakukan. Karena penilaian baik-buruk, menurut Dhurkeim pun, ditentukan oleh norma-norma yang ada ditengah masyarakat. 

Oleh karena itu, alam semesta dulunya ada satu-kesatuan dalam diri tuhan, kemudian tercipta beragam makhluk darinya. Jadi untuk saat ini, saya dapat mengatakan bahwa saya adalah bagian dari alam, juga bagian dari tuhan. Manuggaling kawulo gusti, mungkin seperti itu kata orang jawa dalam memaknai hakikat diri.

Jika saya adalah bagian dari dzat tuhan, lalu siapa kamu?


Jogja, 25 Agustus 2015


Bumi

Daun mulai berguguran ke tanah yang gersang,
Dan angin yang berhembus memercikkan api.
Lalu membara diatas puing kayu yang malang nasipnya.
Ratapan sepi angin memuja tanah yang dibanjiri bara merah,
Kemudian kayu yang terbakar hanya menyisakan tangis bumi.

Dimana kalian yang pernah mencintai dengan hati?
Rasa peduli yang tertempel di baju-baju berlabel mahal,
Apakah hanya kata saja, dan pemuas nafsu belaka?

Kalian adalah bagian darinya,
Yang tak pernah berhenti mengais sesuatu yang tumbuh dari perutnya.
Bumi, tak pernah berhenti menjadi kambing,
Seketika waktu berjalan tubuhnya terus diombang-ambing.
Karena kebosanannya, dia menunggu api membanjirinya,
Mengharap air segera meraup wajahnya.
Hingga pada suatu masa matahari kembali meratapi tangisnya.
Dan bumi berkata: aku tlah memberimu segalanya. Namun kenapa aku selalu dibuatmu sangat dekat dengan kematianku?

Jogja, 25 agustus 2015


Rabu, 12 Agustus 2015

Capung Yang Kian Menghilang


Sudah lama saya tidak melihat kupu-kupu dan capung bertengger diatas daun-daun yang hijau dan bunga-bunga yang tumbuh menghiasi jalanan. Apakah populasinya sekarang sudah menurun ataukah sudah punah? Saya tidak tahu harus menjawab apa. Namun, memikirkan hal itu di warung kopi, membuat saya teringat kembali masa lalu sewaktu masih bisa bermain sepanjang hari di sawah, hingga matahari di ufuk barat memacar cahaya kemerah-merahan: pertanda waktu bermain sudah habis. Jika tidak segera pulang, laksana jeweran dari tangan nenek, atau juga bibi menempel di telingaku. Kalau tidak seperti itu, biasanya hanya dimarahin.

Semakin dewasa, semakin pula masa kanak-kanak akan menjadi kenangan yang indah nan tak terlupakan. Seorang teman dari semarang pernah berkata: masa terindah adalah masa sekolah. Tetapi bagiku, masa yang paling indah adalah masa sewaktu kita masih kecil. Sebab masa sekolah adalah masa dimana peraturan yang membuatku merasa seperti robot. Mungkin yang membuat pikiran temanku terkesan dengan masa sekolah hanya soal pertemuan dengan kekasih; itu saja, mungkin.

Masih tergiang dalam ingatanku; siang berlalu, hari menyambut sore, saya bersama teman berlalu-lalang dengan sepeda bewarna orange yang dibelikan ayah karena rengek'anku tak kunjung usai, sebab melihat teman sebaya mempunyai sepeda juga. Membuatku iri. Sebelum pulang ke kalimatan, dengan baik hati, ayah membelikanku sepeda. Maklum, kata ayaku, kecil sudah jauh dengan orang tua sedikit banyak harus dituruti permintaannya. Bahkan pada saat saya minta untuk dibelikan mobil remot, ayah juga menurutinya. Tentu dengan timbal baik: selalu belajar hingga menjadi orang yang pintar. Tetapi, sampai saat ini saya belum juga pintar. Maaf ayah, saya belum bisa membuatmu bangga.

Di samping sawah dekat dengan lahan luas--yang sekarang sudah ditanah beton--saya memburu capung dengan kayu panjang yang ujungnya diberi getah pohon. Semak-semak yang timbuh dipinggir lahan tersebut, terdapat banyak capung. Dan binatang yang serangga berwarna kuning keemasan juga hadir mengindahankan kampung halaman saya. Sehingga, anak kecil seperti saya dapat bermain riang, sepanjang hari tanpa ada kesibukan yang membuat saya pusing.

Di lahan yang berdampingan dengan sawah, ada sungai dan kuburan. Disitulah kami, memburu capung. Berlari-lari, lalu berhenti lagi, terus menitih langkah kaki bak seorang ninja yang berjalan laju tanpa meninggalkan bunyi yang nyaring. kami bersigap pasang mata tajam ke segala sudut arah daun-daun. Jika target telah nampak, secepat kilat kayu panjang tadi menyambar tubuh capung tersebut.


Capung macan namanya; berkulit warna hijau loreng-loreng, dan bisa menggigit adalah target yang paling ganas, anggap kami saat itu. Masalahnya, capung yang lain, sangat gampang diperoleh. Tanpa harus mengunakan senjata, dengan tangan biasa pun mudah menangkapnya.

Setelah mendapatkannya, ekor capung saya ikat dengan benang jahit. Kemudian dilepaskan terbang ke udara, dan kami bersama mengejarnya. Namun, kalau lagi datang rasa belas kasihan, kami lepas langsung tanpa mengikatnya. Semua itu tidak lain bertujuan mengisi waktu bermain; semestinya begitu bagi anak kecil.

Itu masa kecil saya bersama teman-teman yang aneh dan unik. Sekarang, saya hidup diperkotaan merindukan masa seperti itu. Tetapi, saya sadar bahwa masa itu tidak akan terulang kembali. Hanya saja, saya perihatin dengan kondisi lingkungan yang hari demi hari mulai ditumbuhi gedung-gedung, yang membuat eksistensi hewan yang pernah menghibur masa kecilku cepat punah. Bahkan sudah beberapa tahun ini, saya tidak lagi melihatnya. Ah, kau menghilang kemana, duhai sahabat kecilku.

Di warung kopi, saya hanya dapat mengingatnya, tapi tidak dapat meilhat capung dan kawanan serangga yang lain.

Jogja, 12 Agustus 2015

Rabu, 22 Juli 2015

Heraclitus Dan Kesetiaan Hubungan Pada Pasangan


Sebagai pengikat hubungan individu terhadap pasangannya, diperlukan suatu komitmen. Perjanjian yang menjunjung perasaan cinta dan setia. Dalam perjanjian itu, dua insan yang saling mencintai, mengikrarkan janji untuk saling mencintai—apa adanya sampai kapan pun. Inilah bentuk kesetiaan terhadap pasangan. Dengan saling menyatukan rasa cinta, segala sesuatu yang tidak disukai oleh pasangannya, tidak akan dilakukan agar hubungan itu tetap terjaga.

Hal-hal cinta yang dijaga hingga melahirkan bentuk kesetiaan, tampaknya juga akan mengalami kemunduran hingga sampai pada saat ikrar yang sedari awal diucapkan dengan mulut dan mengaktualkan dengan perbuatan, akan berubah seiring timbul rasa yang tidak disukai dari pasangan. Kepribadian lain dari pasangan, yang tidak disuka, dapat menjadi salah satu faktor perubahan cinta, yakni rasa benci yang akan memberitahu seperti apa rasa cinta. Sebab, dalam Falsafah Zen, dualisme dalam hidup tidak berdiri sendiri, melaikan satu kesatuan; didalam cinta ada benci; didalam baik ada buruk.

Heraclitus, seorang filosof klasik dari Ephesus, meyakini alam semesta mempunyai sifat dinamis. Berposes dari sekarang sampai pada suatu perubahan yang lebih berkembang—akan tetapi juga dapat lebih buruk dari sebelum perubahan itu—karena ada suatu penyebab yang menjadi penggerak perubahan; konflik. Yang kemudian ide ini digunakan Hegel dalam mebuat gagasan filsafat dialektikanya: dari thesis, anti-thesies lalu menimbulkan suatu sintesis baru, dan seterusnya akan seperti itu. Dalam hal etika, Heraclitus mengatakan: konfliklahah menjadi sebab mulanya yang banyak terdominasi oleh ilusi, dan akan melahirkan suatu perubahan dialektis.

Jika mengunakan pemikiran Heraclitus untuk menganalisis suatu hubungan cinta yang biasa disebut ‘pacaran’, tentu kesetiaan terhadap pasangan tidak akan selamanya terjalin. Rasa setia akan hilang pada suatu masa, atau sebab keadaan yang tidak nyaman oleh faktor-faktor tertentu. Sedikit demi sedikit, ada sebuah sintesa yang akan menyimpulkan perubahan rasa itu. Bisa jadi, komitmen untuk saling mencintai berubah menjadi benci, yang berakhir pada pengingkaran ikrar cinta.

Rasa cinta dimiliki oleh manusia dan semua makhluk penghuni alam semesta lain. oleh karenanya, menurut Heraclitus, segala yang termasuk dalam bagiannya akan mengalami perubahan, tidak terkecuali. Seperti air yang mengalir: Jika masuk ke sungai yang dialiri air, belum tentu besok sama. Walaupun tempatnya sama, akan tetapi air dan kondisi sekitarnya tidak sama seperti sebelumnya. Hubungan yang dilakukan manusia pun sama: Jika porsi cinta dan rasa kesetiaan besar, belum tentu ketika ada suatu faktor yang tidak disuka, tidak mengurangi rasa itu. Bahkan, mungkin dapat menghilangkannya.

Namun, dalam hidup manusia ada sesuatu yang diperjuangkan, yaitu kebaikan dan keburukan bagi dirinya. Kebaikan bagi dirinya ini menjadi sebuah ikatan hubungan. Itu adalah sebuah perjuangannya memenuhi kemauan hasratya mendapatkan kenyamanan, kabaikan, atau kebahagiaan. Oleh sebab itu, komitmen cinta akan dibuat bersama pasangannya. Sedangkan keburukan, kalau dalam hubungan itu membuatnya tidak merasa nyaman, dan tidak membuatnya menjadi baik dari sebelumnya, maka tentu akan dihindari, atau memutuskan sikap ketidaksetiaan. Dua sifat alamiah tersebut, semua orang memiliknya. Menghidari atau menahan keburukan, memperjuangkan apa yang membuatnya dapat bahagia, dan pasti terdapat konflik didalamnya.

Dua faktor itu menjadi dasar mengapa manusia harus menjaga dan memutuskan hubungan dengan pasangannya hingga menimbulkan suatu perubahan. Perubahan yang dikatakan Heraclitus, tidak lain adalah kodrat alamiah. Maka segala perubahan itu lebih baik atau pun tidak, akan berdampak pada rasa cinta dan kesetiaan terhadap pasangannya. Inkonsisten dalam berkomitmen harus dipahami, bukan untuk disesalkan atau dihindari, sebab, perubahan adalah sebuah kepastiaan dan kepastiaan dalam hubungan tidak akan selamanya tetap; berubah-rubah seterusnya sekalipun mati yang menghentikan kesetiaannya.


Minggu, 12 Juli 2015

Pencari Cahaya

Di bawah bumi jika ada cahaya tetap akan kucari
Di ujung segala arah yang luas akan aku lewati
Di puncak langit yang sangat tinggi akan aku daki
Adalah demi cahaya yang selama ini menyendiri

Namun tak jua kutemui..

Taruh lah aku sebagai penghianat yang dikatakan manusia bejat
Lalu anjing-anjing menyakar dalil yang melingkar pada bola matamu
Dan akalmu yang menghalalkan darah, telah bertumpah ruah
Di bumi ini tak ada kertas yang mampu menjadi takdir yang abadi
Yang telah menistakanku pun adalah benteng-benteng berlantun dzat berbudi

Kau, kau yang bijaksana penentu keadilan
Pengesah segala kutukan bagi orang yang kebingungan
Kemarilah! Dan tunjukkan padaku siapa yang berhak mengadiliku
Temuilah tuhan dalam dirimu, dan tampakkan wujudnya padaku
Aku menunggu keadilan dalam dzat tuhan yang ada dalam dirimu
Aku menunggu anjing-anjing jalang menjadi penistaan syahdumu di akhri waktu

Aku adalah pencari cahaya di dalam ruangan hampa
Jika kau adalah cahaya, kau berhak membunuhku saat ini juga.

Jogja, 13 Juli 2015

Kamis, 02 Juli 2015

Catatan Dalam Buku Yang Usang


                                                            

Kali Biru, desa yang sunyi dan tentram. Masyarakatnya hidup rukun. Jarang sekali ada pertikaian antar tentanga ataupun desa. Jika ada, hanya sesekali saja, dan itu dapat diatasi secara kekeluargaan. Tidak perlu ada konflik kekerasan yang membuat mereka harus bermusuhan hingga turun-temurun. Sudah semestinya masyarakat desa seperti itu. mengusung nilai-nilai Pancasila, dan menjaga utuhnya budaya gotong royong.
Desa yang terletak dibawah kaki gunung ini, mempunyai banyak lahan-lahan sawah. Mata pencarian utama masyarakatnya adalah bertani, menanam segalanya yang dapat menunjang hidup. Aliran sungai yang membatasi antara sawah dan rumah-rumah warga, selain membantu untuk kebutuhan sehari-hari warganya, juga membantu menyuburkan tanaman.
Pohon rambutan tumbuh berjejeran di pinggir jalan hingga ujung desa. Dari mulai rumah kepala desa sampai ujung jalan raya yang sering dilalui kendaraan transportasi kota. Begitu indah desa ini. namun tidak semua orang tahu bahwa di desa ini menyimpan cerita pahit. Cerita yang tidak semua warga mengetahuinya. Hanya saja, masyarakat desa yang berusia sekitar 80 tahun keatas yang tahu.
Di usiaku yang masih terhitung remaja, 18 tahun, seketika itu pernah aku dapatkan sebuah buku yang usang di almari yang ada di gudang. Judul buku tertulis “Tjatatan Perjoeangan”. Tanpa sepengetahuan Ayah, aku membawa buku itu. kini, usiaku menginjak 25 tahun. Sudah saatnya aku harus pulang ke desa. Terlalu lama menuntut ilmu di kota sampai lupa bahwa aku terlahir di desa Kali Biru, dan pasti masyarakat membutuhkan tenaga dan pengetahuanku.
Buku tua yang aku temukan di gudang, sekarang berada di tanganku, namun tidak sempat ku baca karena sibuk dengan dunia perkuliahan.
***
Semilir angin dari luar masuk ke kamar melalui pentilasi. Musim hujan telah berganti. Akan tetapi, musim panas belum terlalu mecekik. Di depan kos, terdapat dua pohon rambutan besar. Jadi, mungkin saja pohon itu membantu udara siang ini tidak panas.Mengingatkanku akan desa. Ya, desa Kali biru. sehabis sidang skripsi, aku sudah agendakan waktuku untuk pulang. Barang seminggu atau dua minggu. Agar bisa melupakan kekacauan pikiran yang ada di kota.
Di samping pintu, kusandarkan badan menghadap pohon-pohon rambutan yang rindang itu. bersama kopi dan dua jenis tembakau boyolali yang siap menemani disaat sepi. Teringat kembali buku usang yang aku temukan di gudang. sorot mataku mulai tertuju pada rak buku yang berderet. Tapi tak jua aku temukan buku itu. aku angkat badan, kubongkar kardus-kardus yang ada di pojok kamar. Eureka! Buku sudah aku temukan kembali.
Lengkap sudah. ditemani buku yang belum pernah terbaca olehku, kopi dan tembakau. Sekarang, siap mengisi waktu luang.
Lebar demi lembar halaman awal sudah terbaca. Tertulis di buku itu, kakekku yang bernama Suyapto dan teman-temannya mengalami masa suram. Di desa, pernah terjadi peristiwa pembunuhan. Akibat kabar angin yang memfitnah bahwa kakek dan teman organisasi pemuda desa terlibat dalam aksi pemberontakan terhadap negara.
Kabar itu berhembus secepat angin. Segerombolan pasukan berpakaian seperti tentara dan bersenjata lengkap, datang ke desa mengintrogasi warga dari rumah ke rumah. Rumahku pun tidak luput. Warga yang terduga terlibat, dibawa ke rumah kepala desa. Kakek lari dan bersembunyi di sawah. Nenekku sebelum dibawa ke rumah kepala desa, sempat ditanya oleh kepala tentara sambil menodongkan senjata, seolah dia adalah tawanan penjara kelas kakap. Di buku tercatat, kalau Sutinah, nama nenekku, telah di todong senjata. Saksinya adalah warga yang menunjukkan letak rumahku, kemudian dia menceritakan itu kepada kakek dan memohon maaf atas perbuatannya. Karena ketakutannya, ia harus menunjukkan letak rumah kakek.
Usai dibawa ke rumah kepala desa, nenek dan warga lain yang berada di kepala desa,  hilang entah kemana, setelah mereka disuruh naik ke mobil milik tentara. Kakek Suyapto, yang bersembunyi di sawah hingga petang tiba dan tetap bersembunyi di sana sampai pagi penjelang.
Burung-burung berkicau di pagi hari. Daun-daun yang menempel di pepohonan sudah banyak dilumuri embun. Tapi kicauan burung itu tidak menyuarakan nanyian merdu seperti biasanya di benak kakek, dan embun-embun hilang dengan cepat. Seakan ada suatu yang tidak seperti hari-hari yang biasa dilewati kakek di desa.
Oh Tuhan.. ternyata sungai yang jaraknya tidak jauh dengan sawah, pagi ini, airnya mengalirkan warna merah, darah. Ya, itu darah! air itu berwarna darah. Lantas kakek tersentak melihat itu. dia berlari menuju rumah. Dengan cepat Dia berlari, sedang duri-duri ada di rumput-rumput hijau, tak mampu lagi membuat kaki kakek sakit. Pikirannya sudah fokus pada keadaan nenek. Hatinya sudah di selimuti rasa khawatir yang teramat besar.
Keadaan semakin menegangkan. Merdu suara burung tidak dapat didengar sebagai aluran musik alam yang indah, melaikan musik penabuh perang. Musik yang mendatangkan kematian.
Brakk... ditendangnya pintu rumah oleh kakek. Tendangan yang keras itu membuat engsel pintu yang dibawah, copot. Kakek berteriak memanggil ayah yang kemarin terlihat oleh kakek, orang yang terakhir bersama nenek di rumah. Mencari di kamar depan tidak ada. Di setiap kamar rumah, tidak ditemukan seorangpun, baik nenek ataupun ayah.
Akhirnya kakek menemukan ayah di pekarangan belakang rumah. Di satu gubuk kecil tempat biasa nenek menikmati udara senja datang. Ayah duduk. Dia menundukkan kepala sembari menutup muka dengan kedua telapak tangannya. Dari sela-sela jari, berkucuran air mata ayah. Lirih suara tangis kesedihan memuncak ketika ayah mengetahui kakek telah tiba di pekarangan rumah.
Ayah yang masih berusia 17 tahun, didekap tubuhnya oleh kakek. Air mata yang mengalir dari kedua mata ayah sudah memberikan isyarat bahwa nenek sudah tidak ada lagi. sudah dibawa serdadu tentara di suatu tempat yang mereka tidak ketahui.
Kakek tidak menyangka bahwa yang akan di bawa oleh tentara adalah nenek. Kakek dan teman-temannya yang bersembunyi di sawah, pun tidak menyadari keluarganya yang akan menjadi korban menggantikan orang desa yang di tuduh ikut serta dalam pemberontakan.
Kabar bahwa akan datang serdadu tentara sudah terdengar oleh warga desa sejak seminggu yang lalu. Namun warga setempat sudah sepakat kalau orang-orang yang dituduh itu bersembunyi saja. Karena isu-isu yang dituduh terlibat, sudah dipastikan adalah para petinggi desa dan pemuda yang mempunyai posisi tinggi dalam kepengurusan desa.
Mendapat kabar warga desa lain yang pernah kejadian sama, yang akhirnya dialami juga oleh warga desa Kali Biru, maka hasil kesepakatan bersama, 10 orang bersembunyi di suatu tempat dan persembunyiaannya harus berbeda.
Akan tetapi, ini semua telah terjadi. Istri orang yang dituduh, akhirnya darah mereka menjadi pengganti. Ayah yang masih mengangis tak sanggup lagi melontarkan sepatah kata kepada kakek untuk meminta maaf karena tidak bisa menyelamatkan nenek.
 Kemudian keadaan menjadi hening. Mereka berdua dan warga desa yang mengalami kesedihan yang sama, tidak tahu siapa yang menjadi dalang fitnah ini. serdadu tentara bersenjata lengkap itu adalah suruhan siapa? Warga tidak ada yang tahu.
2 sampai 3 hari, warga berbondong-bondong mencari darimana sumber darah yang bercampur air mengalir, yang dilihat ayah di sawah saat sembunyi. Namun hasil tetap nihil. Jejak-jejak pembunuhan tidak ditemukan sama-sekali.
Kesedihan kakek dan ayah mulai memuncak.
Berlangsung lama tidak ada kabar tentang warga yang disandra tentara. Kakek hanya bisa pasrah, dan yakin bahwa mengalirnya darah yang ia lihat di sungai adalah  darah warga desa yang kemudian dibunuh. Jasad-jasadnya pun tidak tahu dikubur dimana. Biarlah mereka menyatu dengan alam, ucapku dalam hati. 
***
Ejaan lama membuat aku harus teliti lagi dalam membacanya. Ada juga tulisannya yang sudah pudar, namun tetap dapat aku pahami maksud dan alur ceritanya.
Peristiwa yang tertulis didalam buku “Tjatatan Perjoeangan” milik kakek ini, adalah tulisan asli. Dia mencatat kisah suram yang pernah terjadi di desa. Tapi heranku, tidak ada orang desa sekarang yang mengetahui atau mungkin, setidaknya mewariskan cerita ini kepada anak-anaknya. Ayah tidak pernah bercerita tentang ini. untung saja aku dapat mengabadikan cerita ini dalam ingatanku.
Pastinya karena buku ini, aku dapat mengetahui peristiwa itu. entah juga siapa dalang dibalik semua peristiwa yang telah merenggut nenek dari kehidupan keluargaku. Seakan ini menjadi kisah pahit juga dalam riwayat-riwayat nenek moyangku. Hingga peristiwa ini memfosil dalam alur kehidupan yang terus melaju kencang.
kopi sudah tinggal ampasnya. Rokok masih aku pegang di tangah, dan buku sudah kututup. Harapku, semua akan terungkap, dan  siapapun dalangnya, kebenaran akan menuntut keberadaanya dalam setiap peritiwa yang terjadi, kelak.

Jogja 24 Mei 2015

Bowongso: Kopi dan Tembakau



Mengisi waktu liburan, saya bersama 4 orang teman, mengisinya dengan mlaku-mlaku bareng ke Wonosobo; sebuah kota yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Sekedar melihat update photo dan status di media sosial, yang kutahu bahwa kota itu berada di dataran tinggi: daerah yang terdapat beberapa gunung yang bisa didaki dan tempat pariwisatanya yang tak kalah indah dengan yang lain.

Dua hari kami berdiam di sana; menginap di rumah teman yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan pasar kertek. Tambah satu teman yang berdomisili disana, kami ber-6 mengunjungi desa Bowongso. Untuk mengunjunginya dibutuhkan waktu sekitar 20 menit mengunakan sepeda motor.

Jalur menuju desa tersebut harus melalui banyak tanjakan dan kondisi jalan yang belubang –mungkin lebar jalan seperti lebar mobil. Sebab keberadaan desa ini berada di atas bukit, jadi dari penginapan letaknya lumayan jauh. View-nya cukup bagus, diperjalan menuju temapat ini, nanti akan disuguhi alam desa yang indah: sebuah desa terdapat banyak sawah yang ditumbuhi sayur-sayuran, pohon yang berbuah kopi, hijaunya dau-daun teh yang luas, tembakau yang tumbuh berjejeran dan kabut-kabut tipis dan hawa dingin akan menyertai.

Tujuan kami tidak lain untuk berburu kopi khas Wonosobo dan tempat yang dapat dijadikan agenda mlaku-mlaku kami. Mendapat cerita dari teman yang sudah 6 bulan tinggal disana: petani desa ini, selain bercocoktanam sayur-sayuran, juga berkebun kopi jenis arabica dan teh. Sayangnya, kami tidak mendapatkan informasi tentang perkebunan teh yang ada disini. Melainkan hanya kopi dan tembakau.

Sampai di basecamp organisasi petani ‘Bina Sejahtera’ . Disini kami ditemui oleh salah satu pemuda desa. Ia memperkenalkan kepada kami tentang aktifitas keseharian warga yang kebanyakan bertani, penghasilan hingga kepada siapa saja dikirim. Ia pun menunjukkan hasil panennya: kopi yang sudah di roasting dan tembakau yang sudah diolah menjadi tembakau yang siap untuk dihisap. Bentuk tembakaunya kotak berwarna coklat kehitam-hitaman, jika dilihat sekilas dan dicium aromanya seperti kue coklat: brownis. Tidak disangka kalau yang saya pegang adalah tembakau bowongso yang sudah jadi.

Untuk membuat tembakau ini sehingga terasa nyaman ketika dihisap, perlu didiamkan bertahun tahun. ”tambah suwi iki tambah wuenak, mas, ming bako koyo ngene sitik abot”  : semakin lama tembakau ini semakin lama, mas, tapi agak keras, katanya.

Saya tidak mencobanya sebab sedang puasa. teman kami yang tidak puasa, mencoba tembakau lintingan  ini. benar saja, jika tidak ditambah cengkeh atau menyan rasanya agak berat dan keras di tenggorokan. Lalu kami melihat hasil kopinya;  jenis  kopi yang tumbuh didataran tinggi berjenis arabica ini, mempunyai rasa asam namun tidak begitu kuat.

Hasil kopi dan tembakau petani Bowongso penjualannya sudah mencapai mancanegara. Per 100 gram kopi ini dijual seharga 20 ribu, dan jenis kopi lanang atau piberry dijual dua kali-lipat dari jenis biasa. Dan Tembakau Bowongso dihargai kisaran 700 ribu keatas perlencer (kotak). Namun  pemerintah setempat kurang mengapresiasi produksi kopi dan tembakau petani ini. Oleh karena itu, dalam jangka 2 tahun, keuntungan dari hasil panen kopi dan tembakau hanya digunakan untuk promosikan produk saja.

Sudah lama kami berbincang-bincang ngalor-ngidul dengan pemuda desa Bowongso. Kemudian kami memutuskan pamit pulang karena hari sudah menjelang sore. Sudah waktu pindah mlaku-mlaku ke tempat yang lain. 

Bukan Kertas

Sayup-sayup dingin dipertiga malam yang terhampar cahaya purnama
Kesemuan segala angan, terlukis dalam keindahan malam
Bintang-gemintang turut hadir menghibur setiap pasang mata yang memandang
Lalu antara kepala satu dengan lain saling beradu nasip
Ada yang ke utara; mencari kebahagiaan di ladang salju yang gelap
Ada yang ke timur; mengais bening air di kolam mata air
Ada yang ke selatan; berlari dari keramaian demi mendapatkan kesunyian
Ada yang ke barat; meluluhlantahkan keringat dan menghumbar semerbak harum bunga di segala penjuru arah untuk sebuah kertas yang tiada arti
Ya, kertas yang selalu kau cari diujung mimpi..
Bukan rasa bahagia yang didapat saat curah kasih senyum menampar segala muka
Bukan pula derai air mata yang jatuh sebab melihat sahabat yang telah kehilangan cahaya dalam dirinya
Namun cinta: rasa yang selalu dijunjung tinggi melebihi kebenaran itulah yang kita, kau dan segenap alis yang tubuh dimatamu itu, kawan, yang akan selalu inginkan

Kita selalu berhadap-hadapan...

Dua garis hitam diatas bola mata, serupa sedadu yang melepas pelurunya dari senjata, mulai beradu
Kemudian malam mulai menyimpan kembali keindahannya dari setiap mata manusia

Pagi tiba dengan cahayanya...
Indahnya, membuat kagum bayi yang baru lahir ke dunia
Namun tak ada nyanyian burung lagi, dan tak ada suaramu yang berdenging lagi di pagi hari
Tetapi hitam bayangan tubuhmu yang terhempas cahaya mentari, kawan
Telah menyadarkanku bahwa dunia tak sekedar kertas yang dapat diremas oleh tangan yang tergenggam keras

Jogja 3 Juli 2015

Sabtu, 20 Juni 2015

Aku Menunggu Kematian

Aku menunggu kematian..

Kujemput ketakutanku tentang itu
Saat hati merasakan takut pada niscaya
Ada orang yang berdiri diatas mimbar menawarkannya
Namun ketakutan telah kubunuh secepat cahaya

Aku ingin menyambut kematian...

Tak getar urat ketakutanku sebelum tertancap palu
Pernah mereka menakutiku!
Ancaman tajam rajam menungguku didepan mata
Itu hanyalah bualan yang dijual yang aku pun tak percaya


Aku menantang kematian..

Ketika gelap membawa obor yang berkobar api
Surga dilukis seindah mungkin sebagai penganti
Dalam tanah yang subur ditumbuhi bunga kamboja
Pertanyaan berduri memaksaku menjawabnya

Aku tak mau takluk pada kematian...

Kodrat terselimuti kepastian yang membuat ragu terbang
Kembali ucapan dalam kata datang membuat bimbang
Lalu kiaskan gambar ketakutan di wajah orang-orang 
Hingga menitih tangis dalam do'a setiap malam dipajang

Aku tak mau kematian menghantui...

Sebab ada yang tak mau anggun berubah menjadi rabun
Sebab diri yang dihasilkan cahaya selalu abadi
Kemudian membuat aku tetap berdiri diatas sehelai rambut 
Dan jika kematian datang maka akan kusambut


Wonosobo 20 Juni 2015

Jumat, 19 Juni 2015

Tentang Kita

Tentang kita, ada segerombolan manusia yang terusir dari tanahnya

Tentang kita, ada segerombolan ibu yang terasing dari tanahnya

Tentang kita, ada seorang yang mati dibunuh seorang tentara

Tentang kita, ada pentani yang dihajar oleh pasukan pengaman dirinya

Tentang kita, ada anak yang mati karena perebutan harta

Tentang kita, ada yang tidak dapat jaminan hidup karena tidak menganut agama impor

Tentang kita, ada yang segerombolan orang terusir sebab dianggap sesat

Tentang kita, ada yang katanya percaya perbedaan tapi tetap membunuh sesama manusia namun yang berbeda

Tentang kita, ada segerombolan orang asing yang merusak alam kepunyaan orang

Tentang kita, ada pemimpin yang menaruh nama diatas rakyat yang hampir menjadi mayat

Tentang kita, ada wanita yang di bunuh kemudian diperkosa karena hasrat uang sepuluh ribu

Tentang kita, ada raja yang mempertaruhakan sabda-sabda busuk untuk  melanjutkan tahtanya

Tentang kita, ada lahan yang akan digantikan gedung ala pusat penerbangan mewah

Tentang kita, ada pertempuran disidang pengadilan yang main sodor-sodoran kekuasaan

Tengang kita, ada orang banyak yang dikelabui tayangan wayang di layar kaca

Tentang kita, ada banyak cerita yang tidak pernah diceritakan dan tidak akan diceritakan sebab cerita kuno dianggap cerita yang datang dari cerita yang tidak dihendaki datang dan cerita yang baru dianggap paling menyenangkan dan akan banyak menghasilkan uang dari pada cerita yang bercerita tentang kita, kita yang dianggap telah usang jika ditulis dalam cerita yang akan disampaikan ke waktu yang akan datang. 

Jogja 19 Juni 2015

Mataku, Mata Damai dan Matamu

Aku selalu berteriak manis namun sangat keras
timbul rasa sadis menguak dari tong kosong
Lalu tinta hitam timbul dari tetesan air mata tuhan
Binar merah kemilau cahaya dari wajahmu, sekejap hilang
Kelabu cinta terpudarkan oleh rasa riang yang datang 

Aku selalu bertanya pada teresan darah yang tumpah
Di tanah yang kering dan di gedung yang hancur
Sebab damai adalah mimpi yang datang dari setiap ucapan manis
Sebab damai adalah candu bimbang para anjing yang selalu melong-long


Aku selalu mengankat jari-jari yang mengarah ke atas
Sekujur telur-telur damai hati tak kunjung meretas
Ada pun kasih yang dikata akan datang dari lonceng gereja
Ada pun hamparan anak yang diperanakkan dari telur damai, tidak pernah ada!

Ini kata yang bisu di semua mata

Mata kasih api, mata kasih peluh dadamu
Menyatu di setiap orok dahak binatang buas
Hantu-hantu palsu datang mengucapkan salam
Kepada tanah, kepada udara yang kia panas
Ucapkan damai yang tak lepas dari gengaman para penganut setan

Aku dan aku...

Pertanyaan hadir berwujud senjata bintang yang bertelur
Suara keras mengancam dibalik dada yang berair surga
Dunia yang dianggap bayangan palsu, itu tiada benar
Tidak ada harapan neraka dan kedatangan surga yang sama dengan yang ada
Matamu yang buta, telah buta selamanya sebab kata yang terurai di udara


Jogja 19 Juni 2015

Senin, 15 Juni 2015

Cerita Dua Pasang Bola Mata

Ada ranting pohon yang patah saat matari tumbuh dewasa.
Ada pula daun yang gugur tak kala angin berdansa,
sejak melihat dua pasang bola mata berlagak cemas,
menghampiri kobaran api.

Ini cerita sekaligus candu ketakutan akan semua ilusi yang tercipta.

Entah siapa yang memulai,
tapi mundurnya waktu tidak mampu menjawab riuhnya suara tabuhan gending perang.
Mulai lah kaki-kaki berjalan menuju lapangan,
seraya berucap nama yang tiada wujud itu di alam bebas.
Lalu banyak tangisan anak kecil yang melepas kepergian bapak-bapak,
yang membawa obor kematian!

 Para istri yang duduk di antara daun yang berserakan di tanah,
menjadi janda dan menangis tersedu-sedu melihat gajah itu menjadi bangkai.
Sebab ganasnya api membuat tubuh menjadi debu,
kemudian hamparan bau surga menantinya esok hari.

Matahari mulai terbit lagi.

Tidak seperti hari kemarin yang bercerita tentang kesedihan batu karang,
sedikit demi sedikit terkikis obak, tetapi lamunan bumi yang disiram darah,
saat ini terus menangis bernada pilu.
 "Kamu dimana?" Pertanyaan kaku anak kecil yang sedang diselimuti rindu,
terbang tak tentu arah, karena tujuan utamanya tertutup kabut,
yang kemudian menghilang.

Cerita ini akan ditutup karena ada parit menghalagi jalannya waktu.
Air mengalir, menjadi kata yang hilang oleh ucap-ucap deras wujud kosong,
wuujud pada dua pasang bola mata itu.

Jogja 16 Juni 2015

Senin, 25 Mei 2015

Bersulanglah Kawan



Sederet kata mulai bergerak membangun cerita
Tinta hitam menguak perasan yang pernah ada
Tertulis indah dunia hijau yang menjadi petang
Gelap-gelap, kita bersama menuju terang

Bersulanglah kawan..

Sebongkah batu di pantai yang mulai hancur
Terhempas ombak bertengger diatas pasir putih
Datang iblis dengan segala keangkuhan
Pedang berlumuran darah telah terpangpang di awan

Syahdu nada becerita tentangmu, iblis dan desiran ombak
Haluan kapal-kapal menembus badai, adalah kau yang berjuang
Saat petir dan mendung hitam berpesta
Keringatmu bercucuran menantang gelap
Teman, tidakkah rembulan masih menyinari wajahmu
Rintik-rintik sinar mentari menjatuhi setiap hati yang menyatu

Kawan...

Andai dirimu tetap berada disampingku
Andai jiwamu masih menyatu denganku
 Maka kita masih bisa menikmati pasir putih bersama
Kita masih bisa berpesta sinar rembulan di singgasana

Jogja, 25 Mei 2015

Sabtu, 09 Mei 2015

Jika Aku Adalah Hujan

Jika aku adalah hujan, maka aku akan membasahi anggur-angur yang bisa memabukkan

Jika aku adalah hujan, maka aku akan selalu menetes di atas daun-daun yang hijau

Jika aku adalah hujan, maka aku akan ada ditengah tanah yang gersang

Jika aku adalah hujan, maka aku akan menghidupi setiap tumbuh-tumbuhan

Jika aku adalah hujan, maka aku akan menari disetiap kegembiraan manusia

Jika aku adalah hujan, maka aku akan berputar-putar dialur sebab kejadian

Jika aku adalah hujan, maka aku akan membaur bersama keindahan seluruh alam

Jika aku adalah hujan, maka aku akan ikut serta menari bersama tawa tuhan

Dan jika aku bukan hujan, maka senantiasa aku akan merindukan tiap tetesan hujan


Jogja 9 Mei 2015

Minggu, 03 Mei 2015

Bermain diatas air

Tak sabarlah kita memang ingin mencandu bibirmu
Menjamahnya dengan lantunan suara syahdu
Diatas atap luar yang sudah mulai rapuh
Suara bising bertebaran membuat angin bergemuruh

Sabarlah Bung..
Kiamat masih belum mau untuk merusak tempat ini
Masa lalupun masih enggan untuk menawarkan gelapnya
Alam semesta masih bersedia mengajak kita bermain
Karena semua hanya meluap diatas air yang mengalir

Jogja 27 April 2015

Ruang kamar



Pojok ruang yang dipenuhi kertas nan usang
Tembok  yang meluntahkan coretan hitam
Lembaran kisah sadis terukir menjadi debu
Disini, ditembok yang berdiri, terangkum nuasa gelap
Gersang memang..
Lantai beradu suara dua manusia
Lebihpun ada, namu itu tawa manusia hina
Hanya sesekali jidat menatap mengadu nasip hidup
Bukan penghuninya, melaikan lainnya
Bukan aku atau kamu, tapi dia..
Dia yang tak jarang hadir dihadapan keduniawiannya
Dia yang tak pernah lupa kepada sang pencipta
Dia yang tak pernah lepas dari rantai agama
Hitam memang..
Nuasa gelap terasa ketika dia yang lain lagi datang
Bersenggama mengatasnamakan keindahan wujud yang tiada
Hingga meneteskan air mata diakhir kemesraan buta
Dari itulah ruang kamar ini tercipta kisah yang tidak pernah ada

Jogja 04 April 2015

Minggu, 12 April 2015

KOPI DAN SEGENAP HAYALKU

 Seteguk kopi mulai aku nikmati. Seperti menikmati anggur merah yang tertuang dalam gelas kecil di tempat wanita-wanita pendusta sabda Tuhan yang sedang menjajankan tubuhnya. Begitulah dunia dengan segala konsep yang telah dibentuk dengan rapi oleh para pemikir kehidupan. Harus ada yang salah dan ada yang mengaku benar, karena tidak mungkin dari keduanya dipaksa sama. Tidak ada pula perjuangan jika tidak ada perbedaan dari salah satu yang mengaku berada di jalan kebenaran. Heran memang, dan ini harus diterima sebagai kenyataan.

Masih tergiang kata-kata seorang wanita malam dalam ingatanku “neng dunnyo iki ora ono seng sepurno le”  begitulah kiranya dia mengataiku dengan dengan raut wajah semangat membela bahwa apa yang sedang dilakukannya memang atas kehendak dia yang telah direstui alam. Namun sempat saja, kopi hitam yang ada didepan wajahku seolah berkata “ah itu hanya sekedar pembelaan belaka. Setiap orang akan membela dirinya sendiri, supaya yang dia jalani tetap dianggap kebenaran, walaupun tidak nampak saja”.

Itulh kisah yang teringat dikepalaku saat aku menikmati kopi sendiri. Bersama buku, rokok, dan hayalan-hayalan konyol yang dibuat oleh akalku sendiri. Akan tetapi, sendiri tidak membuat rasa sedih menghapiri, pun tidak sedikit ruang dalam pikiran tidak terisi, karena ada tiga serangkai teman tadi yang selalu ada dan tidak pernah berkhianat.

Mencoba berpikir dalam-dalam tentang nasihat dari seorang yang aku juluki sebagai pedusta sabda Tuhan. Aku berprasangka bahwa dia terdesak ekonomi, tapi jika dia berhadapan dengan seorang tokoh agama, mungkin saja beribu kata ocehan akan menerpa mukanya. Tentu, neraka akan menantinya kelak dihari pembalasan.

Andai saja pada saat hari pembalasan itu, aku bisa menegur Tuhan, dan akan berbicara lantang dihadapannya “Tuhan, kau ini bagaimana? Kau mencipkatan kami seolah mainan yang kau buat untuk memenuhi hasratmu, untuk menghiburmu dalam kesepian tanpa seorang kekasih yang sanggup membelaimu ketika malam tiba dan yang akan mengucapkan selamat pagi ketika pagi mulai datang, lalu mengecup bibirmu setelahnya. Kau kesepian kan? Lalu kau menciptakan kami disaat kau merasakan itu. Dan kenapa ketika ciptaanmu mejalankan kehidupan yang kau berikan, kenapa kau tidak menjadikannya seseorang yang kau inginkan agar kau puas dengan keinginanmu? Kau maha kuasa, maha berkehendak, maha segalanya. Menjadikannya terhindar dari tempat penjualan badan agar dia seperti apa yang kau inginkan saja, kau tidak bisa”. Hanya hayalanku saja. Namun jika memang benar aku bisa berkehendak dihadapan tuhan nanti, aku akan berkata begitu.

Kembali pada kopi lagi. Tiada kopi, tiada hanyalan yang kemana-mana pula. Tapi kenikmatan ini mengajak pikiranku mengarungi lembah yang jarang dijamah orang lain. Seperti hayalan yang tidak berani orang menyentuhnya, dalam artian pikiran yang akan menjadikan iman seseorang tergelincir dari tempat berdirinya. Tapi ini bukan salahku, jika dengan alasan bahwa Tuhanlah yang memberikan akal pikiran. Jadi apapun yang diperbuat oleh akal, itu salah si pembuat yang membuatnya menjadi liar. Ah.. itu hanya hayalan saja. Maklum dari keadaan sepi seperti ini, hal yang paling enak untuk dilakukan adalah berhayal, selain dari memadang layar handphone.

12 04 2015 

Selasa, 07 April 2015

AGAMA MANA YANG BENAR?


     Sejauh ini apa yang kita pelajari dari agama yang katanya akan menghantarkan kepada jalan yang benar, Jalan yang direstui Tuhan, jalan yang membentuk diri menjadi manusia yang berakhlak dan bermartabat. Akan tetapi pada kenyataannya berbeda dengan apa yang selalu dikatakan oleh para pemuka agama dalam setiap ceramah-ceramahnya didepan umat.
     Terkait dengan kebenaran agama itu sendiri. Agama A mengatakan bahwa agamanya adalah agama yang benar, agama B juga akan mengatakan yang sama. Dan jika keluar dari agama tersebut, dalam arti memeluk agama yang berbeda, pasti akan dikatakan sesat. Semua agama akan mengklaim bahwa jalannya adalah kebenaran yang absolut. Diluar darinya, tidak akan ada keselamatan sedikitpun. Untuk itu, setiap manusia harus memeluk satu agama dan harus meniadakan dan juga mengklaim bahwa agama lain adalah kesesatan.
Fenomena keberagamaan yang seperti ini yang terlihat lucu. Seharusnya sebagai manusia yang beragama, kita mempercayai sesuai apa yang telah kita pelajari. Akan tetapi, selama apa yang kita pelajari tidak membuat kekacauan yang akan merusak keseimbangan alam, maka hal itu sah-sah saja. Ternyata, agama yang seharusnya membawa kedamaian itu tidaklah sesuai dengan apa yang diharapkan. Tentang kebenaran agama sendiri, yang inti dari itu ada dalam internal masing-masing juga membawa kekacauan.
     Memilih A akan disalahkan, memilih B disalahkan pula. Lalu mana yang benar? Tidak ada yang benar bagi saya. Semua agama tidak ada yang benar dan salah. Karena selama dualisme dalam hidup, terutama dalam kebereagamaan selalu ada. Kebenaran tidak ada dari satu pihak, tapi ada pada semua pihak. Dengan tidak menyalahkan agama lain, agama yang dianaut bisa dikatakan agama yang benar. Oleh karena itu, jika menilai agama sendiri sebagai agama yang benar. Maka tiadakan menilai agama lain adalah salah dengan saling menyalahkan yang itu akan memancing sebuah kekacauan.
     Setiap agama membawa kebanarannya sendiri. Tiap pemeluknya diberi hak untuk memilih agama yang sesuai dengan apa yang diyakininya. Jika yang diyakini bisa membawa kedamaian bagi pemeluknya, maka agama yang benar baginya adalah itu. Namun jika yang terjadi sebaliknya, maka boleh dikatakan agama itu adalah agama yang salah baginya, atau mungkin itu bukan agama yang benar. Pada intinya agama adalah jalan yang bisa menjadikan pemeluknya sebagai manusia yang bertuhan, bermartabat dan berakhlak yang baik. 

Rabu, 18 Maret 2015

Paradigma Halal-Haram

Diskusi yang menurut saya tidak pogres sama sekali di kelas. Diskusi ini menyangkut doktrin keislaman tentang maksiat, surga dan neraka, kafir, musrik. Saya tidak menganggap itu tidak baik, tapi akan lebih baiknya jika membahas permasalahan seperti itu dengan sedikit merasionalkan dengan bukti empiris. Mungkin alasan peradaban Islam mengalami degradasi salah satunya adalah umat Islam selalu menyibukkan diri dengan halal haram, mengkafir-kafirkan orang yang tidak sepemahaman, berkutat pada qoul ulama' klasik tanpa menganalisis terlebih dahulu sebab-akibatnya.

Perihal seperti ini yang harus jadi perhatian dan menjadi bahan renungan kita sebagai umat Islam. Terlalu membanggakan masa kemajuan Islam saat masa kerajaan Islam dulu sampai lupa sekarang kita hidup dizaman yang berbeda. Semakin tua umur dunia, juga semakin berkembangnya pemikiran setiap orang. Oleh karena itu, seharusnya umat muslim tidak hanya membahas permasalahan halal-haram. Tapi lebih membuktikan doktrin halal haram yang ada memang tidak baik bagi keseimbangan alam atau tidak baik bagi setiap orang.

Terkait halal-haram suatu makanan dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari. Akan terlihat kuno jika mengharam-haramkan makanan hanya mengunakan ayat, hadis, atau qoul ulama'. Bukan tidak baik dengan cara seperti itu, cobalah sedikit merasionalkan larangan-larangan yang terdapat dalam doktrin Islam. Misalnya; umat Islam dilarang makan babi karena di dalam alqur'an sudah diwahyukan Allah. Sebab daging babi mengandung cacing pita yang tidak baik bagi tubuh manusia. Perbuatan (mengkonsumsinya) ini sangatlah tidak diperkenankan, karena dalam raga yang sehat terdapat pula jiwa yang sehat. Titik tekan dalam permasalahan halal-haram, asumsi saya adalah esensi dan sebab-akibat tersebut yang kebanyakan umat muslim jarang memperhatikannya.

Perlunya mengunakan hukum kuasalitas dalam doktrin-doktrin Islam. Supaya, umat islam mengerti tujuan atau esensi doktrin dalam Islam tidak hanya mengharam-haramkan tanpa sebab dan akibatnya. Akan tetapi dibalik suatu larangan itu ada sebuah esensi dan akibat-akibat yang akan terjadi jika melanggar hukum dalam doktrin Islam tersebut. Di era modern seperti ini sangat penting merasionalkan hal-hal seperti ini. Tentunya  agar bisa menyelaraskan dengan sistem berfikir manusia yang mulai berkembang dan supaya doktrin Islam itu tetap relevan bila masih tetap dipakai di era kehidupan manusia sekarang. Karena islam tidak hanya mengatur tata cara beribadah kepada Tuhannya tapi mengatur pola kehidupan penganutnya juga.
Note: sumber pict dari mirajnews.com

Kamis, 12 Maret 2015

Tak Ada Manusia Yang Sempurna

"Tidak ada manusia yang sempurna" kata yang lumrah didengar oleh kita. Sebetulnya saya kurang sepakat dengan adanya statmen yang menyatakan manusia tidak sempurna. Karena, jikalau kita meyakini bahwa manusia adalah makhluk yang tidak sempurna, tentu Tuhan gagal dalam menciptakan makhluk hidup. Tuhan gagal saat mengkonsep ataupun setelah membuat rangkaian alam semesta. Karena Tuhan mempunyai pangkat "maha segala" yang telah disandarkan pada dzatNya. Tapi ketika manusia tercipta, ia tercipta dengan keadaan yang tidak sempurna.

Dimana kekuasaan Tuhan? Sampai makhluk yang ia ciptakan tidak sempurna. Mungkinkah manusia lebih kuasa ketika menciptakan sebuah kursi yang bisa diduduki oleh murid disekolah adalah kehebatan manusia yang melebihi kebehatan Tuhan? manusia menciptakan kursi saja bisa sempurna. Apalagi Tuhan sang maha sumber yang menciptakan alam semesta.

Bukan bermaksud membela Tuhan atau membuat pernyataan bahwa Tuhan gagal dalam membuat ciptaanya sempurna. Akan tetapi, saya tekankan dalam tulisan ini ialah manusia yang menganggap dirinya tidak sempurna. Jika manusia tidak sempurna, lalu siapa yang sempurna? Kerbau, kucing, babi ataukah padi yang dianggap selama ini sempurna melebihi manusia.

Plato menganggap dunia ini tidak nyata. Karena apa yang ada dalam dunia indra adalah bayangan dari wujud aslinya didunia ide. Aristoteles membantah plato tentang teori mitos gua tersebut. Karena segala yang ada di dunia ide adalah hasil dari sesuatu yang ada dalam dunia indra. Saya akan mengambil titik tengah dari dua pernyataan kedua tokoh filsuf untuk mehubungkan ke pernyataan "tidak ada manusia yang sempurna".

*Biar gak tengang, ngopi dulu

Sejak bayi dilahirkan dari rahim ibu, tidak semua lahir dengan kondisi fisiknya lengkap. Tentu saja keadaan ini bukan dari ketidak sempurnaan lahirnya manusia. Ketika seseorang memandang ada orang yang(sepurone) cacat. Maka ia akan menganggap bahwa apa yang dilihat adalah makhluk yang tidak sempurna. Karena dunia ide merekam dan mengkonsepkan kesempurnaan manusia adalah fisik yang lengkap tanpa satupun yang kurang. Tentang gagasan dunia ide plato, seseorang yang kondisi fisiknya tidak lengkap akan dikatakan tidak sempurna, mungkin plato akan membantah pernyataan itu. Karena orang tersebut adalah bayangan dari cetakan aslinya dalam dunia ide. (Karepmu lah to plato. Arep ngomong opo)

Menurut aristoteles, yang beranggapan bahwa subtansi ada dalam materi dan itu nyata bukan bayangan dari dunia ide seperti apa yang dikatakan plato. Oleh karenanya, kesempurnaan manusia adalah keberadaan manusia Atau manusia bisa hidup merupakan kesempurnaan atas manusia.

Menilai suatu kesempurnaan manusia seharusnya dari diri manusia. Karena yang menjadi tolak ukur kesempurnaan itu adalah dari subtansi atau cetakan diri manusia. Seperti yang dimaksudkan plato, keberadaan sesuatu yang ada didunia indra adalah duplikat dari wujud atau cetakan aslinya yang berada dalam dunia ide. Dari kedua gagasan kedua tokoh filosof tadi, jelas kalau kesempurnaan manusia terletak dalam diri manusia. Sebab keberadaan cetakan aslinya atau subtansi dasar yang membuat kesempurnaan wujud hingga manusia bisa hidup adalah ciptaan yang tidak bisa dibilang itu tidak sempurna.

Kerap kali manusia berfikir ketidak sempurnaan atas manusia dinilai dari perbandingan dengan penciptanya. Bagaimana mungkin sebuah kursi dikatakan tidak sempurna jika kesempurnaanya dibandingkan dengan si pembuat. Kalau kursi tersebut menurut gagasannya plato, akan dikatakan sempurna. Karena hasil penciptaan kursi tersebut berawal dari cetakan atau wujud aslinya di dunia ide. Pandangannya aristoteles mengenai kesempurnaan kursi adalah dari subtansi dasar yang dibuat oleh si pembuat hingga menghasilakan sebuah bentuk yang sempurna. Apakah kesempurnaan kursi dinilai dari hasil perbandingan antara si pembuat dan hasil dari pembuat? Tidak.

Tidak ada manusia yang TIDAK sempurna didunia ini dan selama ia berlangsung menjalani kehidupannya. Tuhan mengevolusi segala sesuatu tidaklah kesempurnaannya dibandingakan oleh si pembuat atau benda lain selain diri manusia. Bukan cacat fisik atau kekurangan pengetahuan yang membuat manusia dibilang tidak sempurna tapi ketika ia tidak dilahirkan dan tidak pernah ada yang semustinya dibilang tidak sempurna. Karena keberadaan selalu pantas dibilang ada dan sempurna. selama ketidak sempurnaan dikatakan ada adalah ketiadaan yang seharusnya bersandang pada ketidak sempurnaan atau bersimpang dari keinginan Tuhan dalam proses permainannya. Sebab kalau manusia tidak sempurna maka secara otomatis sang pencipta yang maha kuasa juga terlibat dalam ketidak sempurnaan. Bahkan boleh dikatakan tidak maha kuasa atas segala ciptaannya.